Minggu, Agustus 17, 2008

Siti Djahrah, Gerilyawan Wanita Yang Enggan Tinggalkan Rumah Dinas Berjalan Tanpa Alas Kaki, Jemput Pistol Revolver

Nama lengkapnya Siti Dzahrah. Zaman revolusi, diusianya yang masih muda, ia dipercaya membawa surat rahasia dan tergabung dalam ekstrimisme. Kini, pejuang RI asal Banjarmasin ini lebih memilih tinggal sendiri ditempat penuh kenangan semasa suami hidup.


GERILYAWAN kelahiran Kampung Walang 25 Januari 1930 ini cukup ramah menyambut kedatangan media ini, Rabu (13/8), meskipun datangnya lewat pintu belakang. Bergegas ia membungkus nasi yang tersisa sedikit itu, kemudian memasukkannya kedalam tudung saji. Tentu saja setelah mempersilakan aku masuk kerumah yang beralamat Jalan Mangga RT 24 Nomor 24 Mekar Sari itu.
“Beginilah. Duduk, seperti anak-anak kembali. Setiap hari makan, kalau capek tidur, salat. Salat itu kadang duduk kadang baring. Kada kuat kaki nenek. Mau nonton kada bisa melihat juga,” Siti Dzahrah langsung menyampaikan keluh kesahnya.
Siang itu, pejuang veteran asal Banjrmasin ini mengenakan daster berwarna merah hati yang dibalut lagi dengan kebaya yang warnanya sudah usang dimakan usia. Mengenakan kacamata tebal berbingkai hitam, guratan di wajah, kulit yang bergelambir dengan rambut putih, menunjukan usianya sudah lebih dari setengah abad.
Pemilik sapaan akrab Djah ini adalah satu dari sekian pejuang wanita sebagai ekstrimis di era revolusi tahun 1945 hingga 1949. Satu yang paling berkesan dalam ingatan wanita usia 78 tahun ini adalah, dimana ia bersama satu rekan bernama Saasiyah dipercayakan mengantar surat rahasia dengan misi menjemput pistol. Kala itu ia masih berusia 17 tahun.
“Bahari (dulu) kalau ga salah tahun 1947, jumat jam 10.00 Wita aku pegi. Aku pas dikelas. Jadi bilang sama guru, izin ada risalah na. Dikasi..,“ tutur ibu delapan anak ini.
Djah menjelaskan. Saat itu pria bernama Hami yang juga masih satu keluarga dengannya memutuskan hengkang dari keprajuritan Belanda. Hami memilih kembali bergabung dalam ekstrimis dan membawa lari satu pucuk senjata api atau biasa disebut pistol revolver. Djah tidak tau bagaimana bisa senjata itu kemudian pindah tangan, sehingga Hami menugaskannya untuk menjemput kembali sejata itu.
Mengenakan kebaya dengan selendang menggelantung dipundak, tanpa alas kaki, ia bersama Saasiyah menyusuri jalan dari hutan ke hutan yang berbukit-bukit. Melawan derasnya arus sungai tapin yang kedalamannya hingga dada mereka. Surat rahasia yang ditulis dengan kode revolusi itu pun dia simpan rapi di tas selempang berbahan dasar kain. Tentu saja saat melewati sungai, tas itu dijunjung tinggi agar tidak basah. Hingga akhirnya sampai ditempat tujuan, menyerahkan surat rahasia berisi perintah pengambilan pistol tadi kepada sudu gapar, si peranakan cina.
“Dari Kampung Walang ke Bitahan jaraknya 40 km. Pistolnya di tempat peranakan cina,” urai nenek 13 cucu ini sembari menambahkan ia kembali tiba di Kampung Walang pukul 15.00 Wita.
Jumat itu benar-benar terasa panjang. Setelah mengantar pistol dan tiba dirumah, baru saja hendak menyantap makan siang, deru suara mobil perang terdengar. Sejumlah pasukan tentara belanda mengepung rumah warga di Jalan Margasari itu. Tujuannya mencari gerilyawan perintis kemerdekaan laki-laki. Mendengar itu, anak pertama dari enam bersaudara ini segera memberitahu ayahnya untuk lari lewat pintu belakang. Dan tinggallah dia seorang diri didalam rumah. Tentara itu dengan garang menelurkan tembakan-tembakan ke langit-langit rumah dan berteriak lantang agar si penghuni rumah segera keluar.
“Waktu itu ada tiga kami wanita. Saya bilang orang laki ga ada, kerja di sawah tuan. Ditanya saya sudah belaki kah. Saya bilang, saya belum belaki tuan,” kenang nenek yang pernah menimba ilmu di sekolah agama normal islam.
Di era 50-an, hingga akhirnya ia memutuskan hijrah ke Balikpapan dan ikut dalam seleksi penerimaan pegawai penerangan di Kantor Kotamadya Balikpapan. Kala itu kantornya masih berada di Gunung Sari. Dan ia pun mendapatkan fasilitas rumah dinas, yakni yang ia tempati sekarang ini.
Di kota minyak ini juga ia bertemu pujaan hati Muhammad Basri. Dan sudah takdir Allah SWT, ia rela melepas kepergian Basri untuk selamanya pada 12 Mei 1989. Anak-anaknya telah dewasa dan berumahtangga, sehingga mengharuskan ia tinggal seorang diri di rumah semi permanen itu.
“Pernah diajak sama anakku di manggar, tapi aku sayang rumah ini. Banyak kenangan sama bapak,“ ujarnya sembari menatap foto besar tanpa warna, potret mereka berdua yang terpajang di dinding samping meja makan. (*)