Senin, September 29, 2008

Suka Pakai Jilbab, Bocah Bersisik Hafal Doa Makan

Saat aku menyambangi rumah Hj Rohana, orangtua angkat Amanda di Gang Sepakat RT 47 Manggar, bocah bersisik itu sedang tidak di rumah. Amanda sedang asik bermain di rumah tetangga dan langsung pulang ke rumah saat Rohana berteriak memanggilnya dari jendela rumah dari jendela belakang.
Amanda sepertinya sedikit heran melihat ada banyak orang berdiri di teras rumahnya. Memang, kali ini Post Metro hadir bersama rombongan dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Bukit Damai Indah (BDI). Tujuannya adalah berbagi paket ceria dengan Amanda.
“Ma...mama... itu ada olang datang ma...,“ teriak Amanda saat tiba di rumah dan langsung masuk memanggil Rohana yang dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Tentu saja setelah melepas kedua alas kakinya di depan pintu. Tergopoh-gopoh Rohana keluar dan mempersilakan rombongan ini masuk kekediamannya.
Amanda tampaknya semakin cerdas. Saat dimintai mengucapkan doa, dengan cepat ia mengucapkan doa makan. Lucu dan mengharukan. Ditengah kondisi fisik yang sedari lahir tanpa pori-pori kulit, ia dengan lancar mengucapkan doa, yang tentu saja sesuai ciri khas bocah usia tiga tahun.
“Allohumma baalik lanaa, fiima lozaqtanaa waqinaa adzabannaal...,“ ucap Amanda kemudian mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya. Sontak membuat semua yang hadir semakin merasa terharu dan kagum dengan Amanda.
“Ayo baca doa lagi. Coba baca doa mau tidur. Biar dapat hadiah dari ibu-ibunya,” rayu Rohanah yang duduk di samping Amanda.
Bocah yang terancam buta karena rentan mengalami iritasi mata itu sepertinya sangat menyayangi Rohana. Saat ditanya, dimana ibu kandungnya, dengan polos Amanda menjawab ibunya telah lari dengan orang. Dimana ayah, ditanya begitu, ia menjawab di penjara karena nakal. Rohana sendiri mengatakan, jika si ayah keluar dari tahanan, bocah itu enggan ikut ayah. Amanda juga tidak mau ikut dengan Ibunya yang telah tega meninggalkannya sedemikian lama.
“Sudah satu tahun ia tidak bertemu ibunya. Pernah ibunya nelpon katanya lagi di Penajam. Anaknya juga ga mau. Ya sudah lah, saya juga bisa menjaga Amanda,” ujar Rohana sembari tersenyum menatap Amanda.
Ekspresi dan raut wajah Amanda selalu datar. Ia tidak bisa tersenyum atau tertawa lebar. Karena memang kulitnya seperti beku dan kaku, sehingga sulit digerakkan oleh otot-otot urat saraf. Tapi dari sikap Amanda yang acuh menunjukan bahwa ia senang dikunjungi. Itu bisa dilihat dari tatapan kedua matanya.
Bisa juga perilaku riang Amanda karena ia baru saja dihadiahi Handphone (HP). Eits, bukan HP beneran, tapi mainan yang bentuknya menyerupai HP, dan bisa mengeluarkan melodi jika ditekan tombol-tombolnya. HP itu nyaris selalu tergantung di lehernya. Saat ditanya Amanda mau menghubungi siapa? Ia hanya menatap lugu media ini kemudian tersipu malu.
“Kira-kira satu minggu lalu saya ke DKK, terus dikasih obat dan uang untuk Amanda. Saya belikan mainan itu. Senang dia itu,“ ucap ibu yang sore itu berbalut daster panjang dengan rambut tertutup topi haji berwarna pink.
Keceriaan terpancar di kedua bola mata bocah mungil itu kembali terlihat saat Sinta, staf BAZ, menghadiahinya sepasang busana muslim. Busana itu berwarna soft pink. Amanda pun terlihat manis saat Sinta memasangkan jilbab kemudian merapatkan baju itu ke badan Amanda. Saat jilbab hendak dilepas, Amanda ngotot tidak mau melepasnya. Sepertinya ia menyukai hadiah itu. Padahal yang dikhawatirkan ia akan merasa gerah dan kepanasan karena kulitnya tidak mampu menyerap keringat.
“Telimakacih ya bu…,” ucap Amanda tersipu sambil terus memainkan ujung jilbab yang ia kenakan.
Disamping Paket Ceria Ramadan (PCR) dan busana muslim, Amanda juga mendapatkan santunan. Badrus staf BAZ, menyerahkan dana santunan itu lewat Rohanah. Ia menyampaikan dana santunan itu untuk menjaga kesehatan Amanda sembari menunggu saatnya Amanda diboyong ke Jakarta Eye Center (JEC) untuk mengoperasi kelopak mata. Operasi yang belum bisa dipastikan kapan, lantaran kulit paha Amanda yang rencananya dipakai untuk transpalasi kulit itu masih bersisik, sehingga tidak mungkin digunakan untuk kelopak mata. (*)








Puasanya Kaum Dhuafa di Kota Madinatul Iman

SEANDAINYA diminta memilih, Sanibah lebih memilih setiap bulan adalah bulan Ramadan. Menurut gakin RT 07 Batu Ampar ini, puasa atau tidak, lambungnya juga jarang terisi nasi. Selain keadan yang membuat demikian, lanjut usia (lansia) yang tercatat sebagai warga miskin (gakin) ini mendapati kelainan di tenggorokan jika menelan suatu jenis makanan yang tidak dapat diterima tenggorokannya.
Sanibah tidak bisa mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak dan santan. Kalau pun ada tetangga yang mendermakan makanan yang mengandung dua hal diatas, Sanibah yang kini berusia 60 tahun itu sekadar mencicipi. Selebihnya dikonsumsi suaminya Laode (63) dan dua anak angkatnya Pardiansyah (16) dan Yuliani (7). Sanibah hanya mampu mengkonsumsi rebus-rebusan saja.
“Sama aja. Biar ga puasa sehari cuma sekali atau dua kali makan. Puasa aku makan pas sahur aja satu sendok. Trus minum air banyak. Kalau buka makan biasa, itu juga nasinya sedikit,“ tutur Sanibah.
Pada umumnya, menjelang buka puasa, umat muslim menyiapkan hidangan buka puasa yang menggiurkan. Apalagi mereka berasal dari kalangan elite, hidangan terbaik dengan ragam menu lah yang disajikan. Tentu saja sebagai gakin, menyajikan hidangan berbuka yang lezat hanya sebatas mimpi bagi Sanibah. Hanya cukup satu menu, nasi dan air putih aja. Sedikit berbeda lah dengan suami dan anak-anaknya. Terkadang mereka mencampur air putih dengan gula. Agar air terasa manis, dan tubuh tetap bertenaga karena kandungan koarbohidrat pada gula, sehingga tetap fit menjalankan ibadah puasa.
Kondisi Sanibah saat disanggong Post Metro kemarin, sudah lebih baik dibanding terakhir kali bertemu. Sekira satu setengah bulan yang lalu, lansia yang dikaruniai empat anak dan telah berkeluarga itu terlihat susah sekali berbicara. Suaranya berat dan terputus-putus. Terkadang hanya bisikan berat yang terdengar ketika ia hendak mengatakan sesuatu. Kini pemandangan itu berangsur-angsur membaik. Sejak lima hari lalu, lansia berdarah Bugis ini rutin minum jamu tradisional. Jamu itu diberikan oleh anak angkatnya yang menetap di Somber, yang tidak begitu jauh dari kediamannya.
Yang namanya jamu, pasti rasanya pahit dan tidak enak. Untuk Jamu Cap Putri Sakti dalam kemasan botol kaca satu liter, yakni jamu yang ia konsumsi ini, rasanya pahit dan agak sedikit pedas. Kendati setelah minum jamu yang berkhasiat mengobati asam urat dan rematik itu langsug disorong dengan air, tetap saja rasa pahit itu ada dan lama menghilang. Namun, lansia ini amat bersyukur karena gurah yang selama ini menganjal di kerongkongannya berangsur-angsur berkurang. Sehingga ia mulai terlihat enak berbicara.
“Aku minumnya sedikit aja. Seperempat gelas kecil dua kali sehari. Sejak minum ini sudah nak, sedikit enak ini tenggorokanku. Ini tinggal setengah lagi,“ kisahnya sembari menunjukkan jamu yang ia maksud.
Sanibah juga tau benar, bulan Ramadan adalah bulan penuh ampunan dan barokah. Jika asmanya tidak kambuh, lansia dengan berat badan 29 kg ini rajin salat ke masjid. Tetapi, jika penyakit sesak itu kambuh, ia sungguh tidak mampu lagi. Terutama saat melaksanakan sujud. Ia takut saat itu ia tidak dapat bangkit kembali untuk selama-lamanya.
“Kalau longgar berinak (nafas) baru salat nak. Ngaji juga jarang, karena tarik nafas susah nak,“ keluhnya.
Jika rasa ngilu dibadan menyerang, Sanibah mengobatinya sendiri. Oleskan minyak kayu putih di pundak, kemudian melakukan pijatan-pijatan kecil semampunya. Tak jarang airmatanya berlinang karena tidak kuasa menahan rasa sakit itu. Lain halnya jika ada Yuliani, ia merasa sedikit terbantu. Sementara La ode sibuk mencari nafkah sebagai pemulung dan dibantu Pardiansyah mengutipi sampah di rumah-rumah RT 07 usai pulang sekolah. (*)





Senin, September 22, 2008

Doa Dibacakan, Girls Berlinang Air Mata


BERTEMPAT di ruang serba guna Gedung Bank Indonesia (BI) Cabang Balikpapan, pada Sabtu (13/9) dihelat kegiatan Pesantren Kilat (Sanlat). Santrinya adalah putra putri perbankan mulai SD hingga SMA yang mana kegiatannya berakhir hari ini. Acaranya dikemas sederhana, semua yang hadir dalam ruangan duduk lesehan sehingga menambah keakraban.
Ustazah Wilda menceritakan satu kisah. Judulnya a glass of water (Segelas Air). Menggunakan Inggris ia mulai bercerita tentang seorang anak bernama Syarifuddin Yahya. Saat masih kecil, Syarifuddin sudah sangat menyayangi kedua orangtuanya. Terlebih lagi kepada Ibu. Berikut kisahnya.
Suatu malam, sang Ibu sangat haus. Ibu pun memanggil Syarifuddin. “Nak, ambilkan minum,“ pinta Ibu. Masih dalam keadaan sedikit mengantuk, Syarifuddin pun pergi ke dapur, mengambilkan segelas air untuk Ibu. Namun apa yang didapatinya? Ternyata si Ibu ketiduran. Apa yang dilakukan si anak? Ternyata Syarifuddin tetap setia menunggu sampai Ibu kembali terbangun. Cukup lama ia duduk dihadapan sang Ibu dengan menggenggam segelas air putih. Saat terbangun sang Ibu kaget seraya berkata, “Subhanallah, apa yang kamu lakukan nak?”, tanya si ibu. Syarifuddin pun menjawab lembut, “Ibu tadi kan minta air minum.” Sang Ibu pun tersenyum dan menatap Syarifuddin dengan penuh kasih sayang.
“Nah, bagaimana dengan anak-anak Ibu Wilda ya? Sudah kah belum? Kalau disuruh langsung ah ih huhh, terus mengeluh Ibu ini nyuruh terus?,” tanya Wilda dihadapan santri yang sepertinya masih terhanyut dengan kisah Segelas Air itu.
Kegiatan Sanlat 1429 H putra putri perbankan tersebut bertema Peningkatan Pemahaman Ajaran Islam bagi anak-anak. Sebanyak 203 santri terdiri dari 120 santri laki-laki dan 83 santri perempuan. Saat tampil, ia juga sering melontarkan kalimat dalam bahasa Inggris. Sekalian melatih anak-anak mengucapkan bahasa internasional dunia itu. Kepada santri putra ia memanggil boys, sementara santri putri ia memanggil girls.
Sebelum bercerita, Wilda yang hadir untuk mengetahui psikologi peserta memberi sejumlah psikotest. Seperti mengajak peserta untuk membentuk ulat. Sebanyak lima boys tampil kedepan tanpa ditunjuk. Dalam hitungan satu sampai sepuluh boys itu diminta memikirkan bagaimana membentuk seekor ulat. Dan ternyata mereka berhasil. Boy paling depan seolah sujud, disusul teman lainnya ‘ngekor’ dibelakang sembari kedua tangan mereka memegang pinggul teman didepan. Selanjutnya mereka merangkak kedepan dengan pelan layaknya seekor ulat. Aksi lima boys ini mendapat tepuk tangan meriah dari semua yang hadir.
Kembali Wilda memberi psikotest untuk girls. Namanya cewek kesannya malu-malu. Akhirnya Wilda menunjuk enam diantara 83 peserta. Kepada girls, Wilda meminta mereka membentuk kepompong. Setelah dihitung peserta satu sampai sepuluh, ternyata girls malah membentuk ulat. Karena salah, Wilda kembali meminta enam boys tampil kedepan. Ternyata boys itu berhasil. Dua orang jongkok, sementara empat lainnya membentuk lingkaran mengelilingi yang jongkok lagi. Kembali santri boys mendapat aplaus dari peserta dan Wilda.
“Memang pada dasarnya anak laki-laki itu ide-ide untuk berkreativitas itu lebih besar dibanding perempuan. Tapi kalian tadi sudah bagus,” ujar wanita berjilbab besar itu, seraya mempersilakan boys dan girls kembali ketempat.
Setelah puas bermain, Wilda mengajak peserta doa bersama. Peserta dituntun untuk duduk yang tegak, tangan diatas paha, kepala tertunduk dengan mata yang terpejam. Peserta diajak untuk merenungkan segala hal yang mereka alami dan yang mereka lakukan. Doa-doa yang dipanjatkan Wilda benar-benar menyentuh perasaan. Doa yang cukup panjang dengan isi pengakuan dosa, permohonan maaf kepada Allah SWT dan harapan untuk berubah lebih baik membuat sejumlah girls tidak kuasa menahan tangis. Kemudian menutup mata mereka dengan kedua tangan dan ada pula yang menggunakan kain kerudung.
Usai renungan dan doa, sebelum kelas Wilda ditutup, kembali dipanggil dua peserta yang terdiri dari satu boy dan satu girl untuk dimintai komentar. Adalah Ade, saat tampil kedepan, ia tidak mampu berkata karena sesak menahan luapan tangis. Dengan terbata-bata ia mengaku jarang membaca Alquran dan berjanji akan mengubah sikap dan menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua.
“Insya Allah saya mau berubah. Ga mau pemarah lagi sama orangtua,” janji Ade seraya memeluk Wilda.







Ibu-ibu Senang Ustad Arifin Saat Dzikir


MASJID Istiqomah, yang biasa tampak lenggang, Selasa (16/9) mendekati Asar, masjid itu berubah menjadi padat dan ramai. Kaum muslimin dan muslimat di Balikpapan dengan balutan busana muslim anggun terlihat berdatangan satu-persatu. Terlihat pula di teras depan masjid, terjejer meja panjang secara vertikal berhadapan. Terlihat beberapa wanita dan pria, yang mengenakan busana seragam berdiri dibalik meja itu. Diatas meja panjang berlapis taplak batik itu, tersusun rapi takjil yang akan dibagikan kepada mereka yang menyambangi Masjid Istiqomah. Takjil sebelah kiri untuk akhwat, takjil sebelah kanan untuk ikhwan.
Masjid Istiqomah sendiri, sejak Ramadan memang rutin mengadakan tausiah, dengan menghadirkan penceramah asal Balikpapan. Namun kemarin, Masjid yang berada di lapangan merdeka itu kedatangan tamu istimewa, yaitu ustad kondang Muhammad Arifin Ilham. Kehadiran pendakwah yang sering muncul dilayar TV itu sontak membuat suasana Masjid Istiqomah menjadi hidup.
“Mana sih ustad Arifin (Sapaan akrab Muhammad Arifin Ilham, red)? Aduh ga keliatan lagi…” sedikit penasaran, seorang Ibu yang duduk tepat dibelakang pintu masuk masjid celingak celinguk menintip kearah dalam. Memang, sangkin ramainya pengunjung, untuk ikhwan, tempatnya di ruang salat dan akhwat diluar ruang salat hingga memadati ruang serbaguna Masjid Istiqomah.
Ada yang seorang diri, ada yang bersama keluarga, ada pula dari sejumlah perkumpulan pengajian yang tersugesti untuk ikut mendengar tausiah dari pria pendiri Majelis Dzikir Az-Zikra itu.
“Yang saya senangi dari ustad Arifin ini saat menyampaikan dzikir. Itu yang paling dominan. Tapi ceramah beliau juga menarik,” puji Saibah yang pernah mengikuti dzikir bersama ustad Arifin di Masjid Ataqwa masih ditahun 2008 ini.
Warga Jalan Prapatan Dalam itu mengaku, selama memasuki Ramadan, baru ini ia menginjakkan kaki di Masjid Istiqomah. Staff Organisasi Tata Laksana (Ortal) Pemkot Balikpapan ini rela sepulang dari kantor sekira pukul 15.00 Wita, langsung meluncur ke Masjid Istiqomah seorang diri.
Jika Saibah seorang diri, Niar, warga perumahan Graha Indah Batu Ampar memboyong 10 rekan se-pengajiannya untuk ikut mendengarkan tausiah pria kelahiran 8 Juni 1969. Nama pengajiannya adalah Miftahul Jannah. Demi mendapatkan posisi terdepan, pengajian ini pun melaksanakan salat Ashar di Masjid Istiqomah. Padahal dijadwalkan acara tausiah itu dimulai pukul 16.00 Wita.
Niar dan rekan-rekannya menuturkan, sosok ustad Arifin cukup piawai dalam memberikan ceramah rohani. Namun lebih piawai lagi saat memimpin dzikir. Saat diajak dzikir bersama, kalimat-kalimat suci yang dilontarkan ayah tiga anak itu mampu menggugah perasaan dan menyentuh hati para makmum. Itu dirasakan mereka saat juga saat mengkuti dzikir bersama di Masjid Ataqwa.
Tutur bahasa yang santun dengan penyampaian yang sederhana, tidak salah jika ustad Arifin menjadi ustad idola pengajian Miftahul Jannah ini. Seandainya sore itu ada kesempatan, pengajian yang aktif rebana ini juga ingin foto bareng ustad Arifin. Namun keinginan itu langsung pupus saat panitia mengatakan ustad arifin tidak mau batal wudhu.
“Kharismanya itu boleh lah. Beliau sosok ustad yang santun dengan dzikir yang selalu kena dihati. Di Balikpapan sekarang ini sering dilanda musibah, jadi kita perlu dzikir bersama dengan dipimpin oleh ustad lokal. Tapi kalau bisa ustad Arifin dipanggil lagi,“ ujar Niar sembari menambahkan pengajiannya lebih suka ustad santun daripada ustad gaul.
Sementara itu, dalam penyampaian tausiah berjudul Iman dan Ikhtiar Untuk Mencari Ridho Allah SWT, ustad Arifin lebih menekankan tentang arti Ramadan. Dikatakannya, datangnya Ramadan seyogyanya membangun kesadaran dan membangkitkan selera ibadah.
“Ramadan itu berasal dari kata romdon yang artinya pembakaran. Sesuatu yang dibakar ada yang bermanfaat, ada juga yang untuk kebersihan,” jelasnya.
Dalam tausiah berdurasi sekira 45 menit itu, ia mencontohkan, sampah yang dibakar tujuannya agar lingkungan menjadi bersih. Sementara besi yang dibakar bisa menjadi pisau yang bermanfaat untuk dapur. Demikian juga dengan manusia. Lanjutnya, bulan Ramadan yang diberi selama satu bulan itu dilakukan pembakaran yang baik. Karena Allah SWT ingin mencetak orang beriman pribadi kepada-Nya.
Lanjut pria yang masa kecilnya dihabiskan di Banjarmasin ini, datangnya Ramadan untuk membakar dosa-dosa umat Islam ini patut disyukuri. Kalau tidak datang bulan suci itu, umat muslim tidak bisa membersihkan dosa, takabur, rencana busuk dan pikiran jahat.
“Jangankan 11 bulan, sehari pun kita banyak dosa. Janganlah kita merasa paling suci. Sujudkan kepala yang mulia ini sejajar dengan telapak kaki,“ ucapnya penuh hikmat.