Senin, Mei 26, 2008

“Kita Ini Tikus Mati di Lumbung”

by: Imay Sembiring

KENAIKAN harga bahan bakar minyak (BBM) tak bisa dihindari lagi. Harga minyak dunia yang kini menyentuh level USD 120 per barrel menjadi penyebab utamanya. Sejumlah pengamat ekonomi menyatakan dukungannya, dengan alasan untuk mengurangi beban APBN. Tetapi pernahkah terfikir yang bakal terjadi dengan kaum dhuafa? Yang begitu kesulitan dalam menafkahi keluarganya? Bukan tidak mungkin akibat mahalnya kebutuhan pokok karena mengikuti kenaikan BBM ini, mereka melakukan segala cara demi. Salah satunya adalah berbuat kriminal.

Seorang terapis di klinik anak berkebutuhan, Nuria Amalianti dengan tegas mengatakan tingkat kriminalitas akibat melonjaknya BBM akan semakin meningkat. Menurutnya, dengan naiknya BBM dibarengi harga kebutuhan yang tinggi, rakyat kecil pun akan merasa terdesak dengan kebutuhan. Sejumlah masyarakat Balikpapan pun angkat bicara.

Masyarakat, khususnya rakyat kecil pasti tidak bisa lagi berfikir secara sehat, karena kebutuhan hidup yang semakin terdesak. Mau tidak mau, mereka harus melakukan perbuatan yang melanggar hukum seperti mencuri bahkan sampai nekat melakukan pembunuhan demi memenuhi yang kebutuhanya yang semakin sulit dicari,” tegasnya.

Cari uang tidak gampang. Dan sekuat-kuatnya iman orang kalau terdesak, ia akan nekat melakukan apa saja. Ini yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menaikkan BBM,” tegasnya lagi.

Pernyataan berbeda, diutarakan Rikha Oktavian. Costumer service Indovision ini mengatakan, jika seandainya kenaikan kebutuhan primer masyarakat juga dibarengi dengan peningkatan tunjangan kerja, angka kriminalitas tidak akan meningkat.

“Saat BBM belum naik, kebutuhan yang lain sudah pasti ikut naik. Kalaupun sekarang di protes, kira-kira di dengar nggak? Kenyataannya surat keputusannya sudah diturunkan. Lebih baik perusahaan membuat kebijakan dengan menaikkan UMR para pekerjanya, agar seimbang. Sehingga mengurangi angka kriminalitas,” katanya.

Satu contoh, lanjut Rikha, di kota Malang, angka kriminalitasnya cukup tinggi. Ini dikarenakan UMR di kota itu hanya Rp 700 ribu. Saking minimnya pemasukan dan tingginya harga kebutuhan pokok, mereka terpaksa mencari sampingan lain.

Sampingan lainnya itu ya mencuri, Mbak. Saat ini kita ibarat tikus mati di lumbung padi,” pungkasnya.

Melihat TPS Yang Unik


Melihat TPS 009 Batu Ampar Yang Unik

by: Imay Sembiring

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 Wita. Udara pagi itu cukup terasa dan terlihat mendukung moment besar tersebut. Beberapa warga di lingkungan RT 11 Batu Ampar tampak berjalan kaki menuju lokasi TPS 009. Tetapi ada juga di antara mereka yang menggunakan sepeda motor.
Tidak sulit menemukan lokasi TPS itu. Hanya butuh waktu dengan berjalan kaki sekira 15 menit dari Kelurahan Batu Ampar. Atau, tidak lebih dari 30 meter masuk ke lokasi TPS dari gapura RT 11 Batu Ampar.
Sebuah bangunan tradisional tampak berdiri kokoh dengan tanaman hias gantung yang memanfaatkan media pot, yang terbuat dari botol plastik di sekitarnya. Dari arsitekturnya, bangunan menyerupai pendopo yang disanggah dengan bambu kuning beratapkan nipah. Ada juga dua bilik yang masing sekira 1 M x 1 M, yang bangunannya juga terdiri dari bambu dan nipah yang dirangkai sendiri oleh warga sekitar. Ada taman dan kolam mini berisikan ikan hias, berikut air mancur didepannya. Tampak beruang madu sedang bergantung manja di salah satu bambu yang ada di taman itu.

Selain TPSnya yang terkesan istimewa, keunikan lain juga terjadi pada seragam yang digunakan tujuh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk melakukan tugas-tugasnya itu, panitia yang dikoordinir oleh Ketua RT 11 Bambang Kustiantoro, mereka tidak mengenakan seragam formal, melainkan pakaian tradisional. Seperti pakaian adat Aceh, Jawa, Batak dan Toraja, menjadikan suasana TPS menjadi terkesan lebih familiar. Suasana kedaerahan dengan multi etnis tergambar jelas di RT peraih juara 3 Lomba taman lingkungan gelaran Post Metro Balikpapan beberapa waktu lalu tersebut.

Terlihat pula beberapa warga yang datang untuk mencoblos tersenyum melihat dekorasi TPS dan para petugas KPPSnya. Ada yang mengatakan “Wah, seperti suasana kampung ya, apalagi dengan iringan musik gamelan seperti ini. Jadi ingat suasana pedesaan”, ucap salah satu calon pemilih. Mendengar itu, para petugas pun membalas dengan senyum ramah.

“Ide memakai pakaian adat ini tercetus atas usul warga RT 11 juga RT 12, karena kita ini gabung. Ini juga untuk membuat pelaksanaan Pilkada tahun ini meriah dan berkesan,” kata Ketua TPS Bambang diwakili Ketua RT 12 Ardi usai rapat penghitungan suara.

Dari 510 data pemilih yang ada pada panitia, sebanyak 268 orang yang hadir untuk memenuhi undangan. Dan berdasarkan perolehan suara, berdasarkan nomor urut adalah AFI sebanyak 59 suara, Nusa Hebat sebanyak 97 suara, Ampera sebanyak 61 suara dan Julu sebanyak 41 suara. Sementara itu, terdapat 10 kertas suara yang dinyatakan rusak. (*)

Minggu, Mei 25, 2008

Ternak Burung Yang Dilindungi, Burung Lomba Wajib Pakai Gelang

By: Imay Sembiring

Sangkin hobi berat dengan hewan ungas jenis burung, HM Sidik, Kepala Sekolah SD PD I Balikpapan pun membuka ternak khusus burung cucak rowo kalimantan di samping kediamannya di kawasan Muara rapak. Agrobis dibidang burung ini sudah ditekuninya sejak 1,5 tahun lamanya. Dan karena usaha ini terlihat cukup menjanjikan, dia pun berencana untuk menambah satu koleksi lagi untuk diternakkan. Dan saat ini ia telah memiliki tiga ekor murai medan dan dua diantaranya adalah sepasang.

“Selain cucak rowo, jika usaha ini berjalan mulus, kedepannya saya akan ternak murai medan,” ujar Sidik.

Dikatakan, cucak rowo dan murai medan, keduanya tergolong hewan yang dilindungi karena keberadaannya kini hampir punah.

“cucak rowo kalimantan dan Murai medan adalah burung langka. Ikut melestarikan kedua burung tersebut, maka saya memilih bisnis ini,” paparnya.

Dikatakan, saat ini sepasang murai medan usia 4 minggu dihargai Rp 1 juta. Jika di beli terpisah, harga murai jantan dan betina masing-masing adalah Rp 750 ribu dan Rp 500 ribu.

Berdasarkan kebijakan Ikatan Burung Indonesia (IBI), kini burung siap lomba wajib mengenakan gelang. Bagi burung yang tidak memakai gelang, tidak diperkenankan mengikuti kontes kicau burung. Menurut penuturan Sidik, gelang itu sebagai tanda bahwa burung yang dilombakan adalah hasil ternak, buka dari hutan.

“Kalau tidak pakai gelang, dianggap burung itu diambil dari hutan. Demi menjaga populasi burung di hutan, maka dibuatlah kebijakan ini. Tetapi sayangnya banyak yang belum mengetahui hal ini,” ungkap Sidik sambil memperlihatkan gelang yang dimaksud pada salah satu murai medan miliknya.

Bagi Sidik, untuk mempermudah ia dalam membedakan burung betina dan jantan, adalah melalui nomor dan posisi gelang burung tersebut.

“Kalau betina angkanya genap dan saya pakaikan di kaki kiri. Kalau jantan sebaliknya, angka ganjil dan saya pasangkan di kaki kanan burung itu. Layaknya perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki sebelah kiri,” pungkasnya tersenyum. (*)

Sabtu, Mei 24, 2008

asah pena

Penyakit dan Usia Bukan Alasan
Arif dan Asmawati, murid Asah Pena

Imay Sembiring

BALIKPAPAN — Dalam dunia pendidikan, motivasi untuk belajar merupakan salah satu hal yang penting. Tanpa motivasi, seseorang tentu tidak akan mendapatkan proses belajar yang baik. Motivasi merupakan langkah awal terjadinya pembelajaran yang baik.

Motivasi mengikuti proses pembelajaran demi meraih harapan dan cita-cita juga dirasakan oleh sejumlah anak usia sekolah yang berlatar belakang keluarga sederhana, bahkan kurang mampu. Keinginan besar mereka untuk memajukan taraf hidup ke arah lebih baik, mengalahkan rasa malu yang sesungguhnya melekat dalam diri mereka akibat faktor ekonomi ataupun usia. Satu yang mereka yakini, adalah tidak ada kata terlambat untuk belajar.

Mereka adalah M Arif dan Asmawati, masing-masing berusia 16 tahun dan 19 tahun. Keduanya adalah murid kelas 3 SMP Asah Pena Mawar 9 Balikpapan dan menetap di Kampung Ajiraden RT 6 Kelurahan Lamaru.

Arif-sapaan akrab M Arif,ia sempat merasakan bangku sekolah di sekolah formal. Sayangnya, akibat penyakit yang ia derita, si bungsu ini terpaksa putus sekolah dan menghabiskan waktu di rumah hanya sekedar membantu ibu di dapur. Saat resmi putus sekolah, sebenarnya Arif ingin bantu bapak ikut mencari ikan di laut, tetapi karena fisik, si bapak yang bekerja sebagai nelayan ini pun tidak mengijinkan.

“Dulu saya sempat merasakan duduk di bangku sekolah SMP. Saat pelajaran olahraga, penyakit jantung saya sering kambuh dan terkadang pingsan. Karena kasihan, bapak nyuruh saya istirahat di rumah, sekalian bantu ibu juga. Saya terpaksa putus sekolah,” pelan Arif menjelaskan saat ditemui media ini di kediamannya belum lama ini.

Sama halnya dengan Asmawati. Di lokasi yang sama, Remaja yang kini tinggal bersama si tante ini juga mengalami putus sekolah saat di bangku SMP akibat sakit anemia yang dideritanya. Dalam kesehariannya sebelum masuk Asah Pena, Asmawati membantu om dan tantenya yang bekerja sebagai penjemur ikan.

Suprapto, Koordinator Asah Pena wilayah Balikpapan Timur mengatakan M Arif dan Asmawati, keduanya adalah murid Asah Pena yang selalu terlihat serius dan tekun dalam belajar. “Saya lihat, semangat Arif dan Asmawati dalam belajar bukan main-main. Saya yakin jika mereka terus giat belajar ditambah lagi motivasi dari kerabat mereka, saya yakin mereka bisa menjadi orang yang berhasil. Sekolah di Asah Pena ini atas kemauan mereka sendiri, tanpa paksaan dari siapapun,” pungkas Wakil Kepala Sekolah SMPN 8 ini.