Kamis, Juli 31, 2008

Melihat dari Dekat Kapal Perang Prancis, Vendemiaire


KAPAL perang perang Prancis, Vendemiaire, sejak 30 Juni hingga 3 Juli sandar di Pelabuhan Semayang. Kapal yang mampu mengangkut 93 awak ini masuk ke perairan Balikpapan dalam rangka kunjungan kehormatan. Bagaimana kecanggihan Vendemiaire?

“Kapal perang ini termasuk kapal perusak kawal, berpeluru kendali,” terang Kapten Thierry Arnoult berbahasa Inggris bercampur Prancis. Awalnya aku sempat kesulitan mencari informasi kapal perang Prancis karena penjagaan pihak militer yang sangat ketat. kata penjaga, open sheepnya mulai pukul 09.00 Wita hingga 12.00 Wita. Namun bukan imay namanya kalau langsung menyerah. Setelah berupaya keras, akhirnya aku bisa naik ke atas kapal dan menemui kapten kapal.

“Kapal ini beroperasi sejak tahun 1993. Di dalamnya banyak alat canggih,” kata dia.

Peralatan canggih itu antara lain terletak pada sistem persenjataan. Kapal dengan ukuran 130 x 18 meter ini dilengkapi sonar yang mampu melacak keberadaan kapal selam sekaligus memperhitungkan jarak dan akurasi tembak ke sasaran. Sebagai penangkal serangan kapal selam musuh, Vendemiare dilengkapi dengan sejumlah torpedo. Serangan udara juga mampu dilumpuhkan karena persenjataannya memang dirancang untuk hal tersebut.

“Nama Vendemiaire ini di ambil dari peristiwa revolusi prancis pada tahun 1789. Kita memakai nama ini untuk mengenang jalinan persahabatan pejuang yang tergabung dalam Vendemiaire,“ ungkap Arnoult.

“Misi kami diantaranya mengawasi nelayan ilegal dan perdagangan bebas,“ tambah pria yang telah 11 bulan menjadi kapten Vendemiaire ini.

Lanjut pria berambut pirang ini menjelaskan, kunjungan tahun ini bukan hanya Indonesia. Pria ramah ini mengatakan juga telah melakukan lawatan ke Malaysia, China, Rusia dan Jepang.

“Sebelum Balikpapan, kita mendatangi Dili. Dan tujuan selanjutnya kota Surabaya,“ tambahnya.

Terlepas dari itu, terlihat pula sejumlah aparat menjaga di pintu masuk ke lokasi kapal perang Prancis bersandar. Sugiharto, seorang dari penjaga itu mengatakan sejak masuknya Vendemiaire telah dikerahkan sebanyak enam orang untuk berjaga selama 24 jam. Alasan penjagaan ini, untuk mengantisipasi segala sesuatunya.

“Setiap hari ada enam penjaga yang berasal dari staff intelegent, polisi militer dan personel staff sendiri,” sebut anggota Lanal Balikpapan bagian Fasilitas Dinas (Faslan) ini. Mengomentari kapal perang asal Prancis ini, menurutnya masuk dalam tipe Excoced MK 44, sama seperti kapal perang Indonesia. Hanya bedanya kapal perang Indonesia menggunakan tenaga turbin uap, sedangkan Vendemiaire menggunakan tenaga turbin gas. “Ini bisa dilihat dari cerobong asapnya,” imbuh Sugiharto.

Berbahan bakar solar, jarak tempuh fregate mampu mencapai 12 hingga 18 knot. Kecepatannya memang maksimal 12 mil/jam, tetapi jika urgent bisa sampai 20-30 knot/jam. “Intinya lambat bisa, cepat juga bisa,” tutupnya.(*)

Pintar dan Cerdas Emosional, Kunci Menjadi Anak Berguna

Anak yang belajar dan menunjukkan kepintarannya di sekolah negeri belum tentu ketika dewasa kelak bakal menjadi orang sukses. Sukses tidak semata ditentukan oleh kepintaran otak, melainkan juga kemampuan memanage emosional.


Joko meraung-raung dan menangis sejadi-jadinya, memanggil ibunya yang sedang memasak di dapur. “Mbok..huaaa…huaaa, iku ono telek..(ada kotoran)!! resi i.. resi i(bersihkan),” raung Joko sambil menunjukkan ke pahanya yang ada kotoran ayam, saat sang ibu datang. “Kok iso ono telek ayam le,” tanya ibu yang bernama Sastro ini seraya membersihkan kotoran itu dari paha buah hatinya.
Baru saja beranjak masuk dan akan membersihkan tangan, kembali terdengar rengekan si Joko. Dan dengan tergopoh-gopoh, Sastro kembali menghampiri Joko. “Mbok...baleni..(kembalikan),“ pinta Joko seraya menunjukan kotoran ayam yang telah dibersihkan sang ibu. Sastro dengan sikap sabar dan tenang, memungut kembali kotoran itu dari tanah, kemudian meletakkan kembali ke paha Joko.
Selang beberapa saat ketika melangkahkan kaki menuju rumah, Sastro kembali dikejutkan dengan rengekan Joko, yang kali ini jauh lebih keras. Kali ini, Sastro ingin menangis menahan emosi melihat tingkah laku putra kecilnya. Namun, ia berusaha membendung air matanya, kemudian menuju keluar seraya tersenyum simpul. “huaa...huaaaa..., ora podo! (tidak sama),“ Joko sedikit berontak melihat kotoran ayam yang bentuknya tidak sama dengan sebelum dibuang Sastro.
Menyaksikan itu, Sastro berusaha tenang, untuk tidak menangis dan tidak pula meluapkan kemarahan pada bocah itu. Sastro telah berhasil menjaga mata dan mulutnya. “Eee.. ora podo yo le,” ujar Sastro seraya memandang wajah Joko dengan tatapan penuh kasih sayang. Di usap-usapnya lah punggung Joko seraya berkata,”Le..le cilik cilik wes merintah merintah, koyok jendral. Mugi-mugi, sesuk dadi jenderal yo le,” Dengan halus Sastro bertutur.
Keesokan harinya, kembali Joko membuat pusing Sastro. Pagi itu Joko berlari-lari menuju rumah dengan menggenggam sejumlah timun. Terlihat dibelakangnya seorang pria tua yang berteriak sambil menunjuk si Joko. Rupanya Joko mengambil tanpa izin saat pria tua itu manen timun di kebun. Sukses membujuk Joko untuk kembalikan timun yang dia ambil dan setelah pria tua itu berlalu dan membawa timun yang diambil Joko, Sastro kembali menatap Joko dengan kasih sayang. Kemudian dielus-elusnya lagi punggung Joko seraya berkata “Mugi mugi sesok dadi wong sugih yo le. Ben ga usah nyolong meneh.“
Itulah kisah Joko. Satu kisah yang dengan manis disampaikan Hj Neno Warisman. Kisah yang menggugah dan membangkitkan emosional ratusan hadirin yang memadati Aula BI. Joko kini benar-benar telah menjadi seorang jenderal. Membuat ibunya hidup tenang di alam baka karena sang anak kini telah menjadi orang berhasil.
“Jenderal Joko bilang pada saya, dia bisa jadi jenderal bukan karena pintar. Tapi karena ibunya yang semasih hidup tidak pernah sedikitpun melontarkan kata-kata buruk dari mulutnya. Maka itu, hargailah anak-anak kita,” ujar Hj Titi Widoretno Warisman, lebih akrab dipanggil Neno Warisman..
Penyanyi dan bintang film era 1980-an ini menjadi pembicara tunggal dalam seminar parenting di Aula Bank Indonesia (BI), Sabtu (26/7). Seminar ini dihelat oleh Lembaga Amil Zakat Baitul Maal Hidayatullah (BMH) yang bekerjasama dengan Ikatan Wanita Bank (Iwaba).
Seminar gelaran BMH-Iwaba ini bertema ”Peran orangtua membantu mengembangkan potensi kecerdasan fisik, mental dan sosial anak di era globalisasi”, Neno mengatakan sistem pendidikan terbaik ada di Negara Finlandia, alasannya karena disana tidak ada anak yang tidak naik kelas. Sementara di Jepang, lanjutnya, yang kurang pintar adalah gurunya. Alasannya, guru lah yang memohon kepada murid agar tekun belajar. Dan setelah muridnya berhasil, barulah si guru dikatakan pintar.
“Mari ubah paradigma kita yang menganggap yang pintar adalah anak yang masuk sekolah negeri. Atau anak yang pintar matematika dan logika. Anak yang pintar menyantuni dan peminta maaf, juga memiliki kecerdasan emosional yang pasti jadi anak berguna. Katakan dia punya rangking satu karena taat pada Allah,” ajak Neno Warisman.
Usai seminar, kepada media ini, Ketua Iwaba Nining Causa Iman berujar, ini kali pertama Iwaba bekerja sama dengan BMH. Dan kemarin, selain seminar, juga dilaunchingkan Kencleng Pendidikan Donatur Cilik BMH. Dikatakan Nining, sebelum kencleng ini dilaunchingkan, puteranya telah mensedeqahkan sebagian uang jajannya ke dalam kencleng itu. Kemudian saat penuh kencleng tersebut dikembalikan ke BMH untuk kepentingan sosial.
“Ini pertama kalinya Iwaba kerja sama dengan BMH. Moga-moga seminar ini jadi agenda tahunan kita yang tiap tahunnya. Tentu saja dengan tema yang berbeda,” imbuh Nining didampingi suami, Kepala Cabang Bank Indonesia (BI) Balikpapan Causa Iman Karana.(*)






Jumat, Juli 25, 2008

Renungan di Hari Anak Nasional


Tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Di usianya, anak seharusnya menghabiskan sebagian besar waktunya belajar di sekolah serta bermain. Nyatanya di Kota Minyak sekalipun, masih banyak anak yang harus bekerja karena tuntutan ekonomi.

Selasa (22/7) pagi suasana Balikpapan berselimut mendung setelah hujan semalam suntuk. Sama seperti beberapa hari sebelumnya akhir-akhir ini. Melongok aktivitas kota Balikpapan diatas dua roda, di simpang empat lampu merah Balikpapan Baru, terlihat segerombolan anak-anak berpakaian lusuh dengan menggendong tumpukan koran. Kulit anak-anak itu berwarna gelap akibat seringnya menantang panas matahari. Rambut mereka tak ubahnya seperti rambut jagung yang kasar dan berwarna kecoklat-coklatan, dan tentu saja merupakan dampak dari penerang langit di siang hari.

Setelah sandarkan motor, yang tidak jauh dari simpang lampu merah, aku mencoba mendekati seorang diantara segerombolan anak-anak penjaja koran. Akibat sejumlah tanda tanya muncul di benak. Apa mereka masih bersekolah, ataukah sudah berhenti. Kenapa diusia belia mereka memilih kerja daripada bermain dan belajar. Seperti apa sih suka duka jadi pekerja anak. Seorang anak itu yang kemudian diketahui bernama Samuk, dengan terbuka menerima kehadiranku. Tentu saja setelah memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dan tujuan.

Agak sulit lakukan komunikasi denganya. Matanya terkadang berputar kanan dan kekiri yang sepertinya mencari-cari jika saja ada yang memanggil dirinya untuk beli koran. Sesekali, Asmuk berlalu dari media ini manakala lampu lalu lintas menunjukan warna merah. Satu persatu kendaraan yang berjejer itu ia tawarkan koran dengan menunjukkan halaman utama bagian atas, tetapi korannya dilipat dua sebelumnya, agar lebih mudah digenggam. Sesekali juga ia lari menyeberang jalan, manakala terlihat kendaraan dari seberang sana melambaikan tangan kepadanya. Yang ternyata pemilik kendaraan itu juga berniat membeli koran.

“Aku berenti sekolah pas naik kelas empat SD. Karena ga ada biaya bu,“ ucap anak berusia 13 tahun ini setelah sebelumnya aku mengajaknya menepi disalah satu sudut jalan.

Jual koran sejak dua tahun lalu, tidak jarang ia dan teman-temannya dikejar-kejar Satpol-PP saat gelar razia. Akibat ketakutan luar biasa, kaki berasalkan sendal jepit yang mulai usang itu pun lari menjauh. Sekencang-kencangnya, kemudian sembunyi dibalik rerimbunan pohon yang dia yakini tidak akan bisa ditemukan keberadaannya. Dan keesokan harinya, putera pasangan Lapinggiri dan Warima ini masih tetap jual koran seperti biasa, yakni mulai pukul 07.00 hingga 12.00 Wita.

Demam tinggi pernah ia rasakan, akibat tubuh cekingnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Sakit itu menuntun si bungsu dari lima bersaudara ini istirahat selama hampir satu minggu di rumah dan tidak bisa menyetor pendapatan yang biasa ia peroleh mulai Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu perharinya kepada orangtua. Dengan demikian, ia harus istirahat beberapa waktu dari membantu si ayah yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan. Sementara ibu hanya sebagai ibu rumah tangga.

Selang beberapa waktu, seorang bocah yang nyata terlihat jauh lebih muda dari Samuk menghampiri dan sepertinya tertarik melihat perbincangan ini. Digendongannya terlihat masih bertumpuk koran-koran. Sepertinya ia baru saja tiba dan akan mulai berjualan koran.

“Ini bu. Masih sekolah. Namanya Mardin,“ tunjuk Samuk kemudian di sambut dengan senyum kecil bocah plontos itu.

Mardin, bocah plontos usia 9 tahun ini mengaku pulang cepat hari itu. sehingga ia bisa ikut jual koran lebih pagi dari biasanya. Mardin tergolong baru bergabung sebagai penjual koran, yakni saat libur kenaikan kelas beberapa waktu lalu. Jual koran pun ia mengakui lantaran di minta oleh ibunya untuk membant si ayah yang kerjanya sebagai buruh bangunan.

“Biar jual koran, aku ga pernah ngantuk di kelas,“ aku pemain olahraga futsal di SDN 013 Gunung Bakaran.

Karena postur tubuh yang mungil, tidak jarang pembeli koran milik mardin ini tidak meminta uang kembalian. Mungkin karena rasa iba melihat anak semuda itu harus ikut menopang hidup keluarga. Padahal Mardin masih punya tugas yang lebih penting lagi, yaitu belajar. Karena ia adalah calon pemimpin bangsa yang dipundaknya lah negara ini akan bersandar. (*)