Senin, Januari 19, 2009

pak tani padi

Dihadiahi Hand Tractor, Petani Diundang ke Rumjab Wawali
Gapoktan “Tani Makmur” Karang Joang Panen Padi Perdana

KAMIS (9/10/08), merupakan hari bersejarah bagi empat kelompok tani Karang Joang yang tergabung dalam Gapoktan “Tani Makmur“. Hari itu merupakan panen perdana padi mereka yang juga dihadiri Wakil Wali Kota (Wawali) Balikpapan H Rizal Effendi SE.

Pagi itu, hujan deras membasahi bumi kota Minyak. Namun tidak menyurutkan rencana yang sudah disusun matang oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Wilayah Utara khususnya Karang Joang untuk melakukan panen padi perdana secara simbolis. Yang rencananya panen simbolis itu dilakukan oleh Wakil Walikota Balikpapan H Rizal Effendi SE.

Perhelatan bertempat KM 12, tidak jauh dari Waduk Manggar itu, dikemas secara sederhana. Di tengah hamparan sawah, yang ukurannya tidak terlalu luas itu diatapi dengan terpal. Dibawahnya berjejer seadanya kursi plastik yang berhadapan dengan meja sepanjang dua meter di bagian tengah. Bukan hidangan mewah tersaji di atasnya. Hanya ada jagung rebus, singkong rebus, kedelai rebus dan buah pepaya yang membuat semua yang hadir disana tidak mampu berhenti mengunyah. Terlebih cuaca yang cukup membuat tubuh menggigil lantaran hujan.

Pukul 09.30 Wita, hujan masih mengguyur. Ketua Gapoktan “Tani Makmur” Ir Agus Basuki menyampaikan sambutannya. Disitu telah hadir Wawali, Kepala Dinas (Kadis) Pertanian Kota Balikpapan Ir H Chaidar Chairulsyah, Kasubdin Tanaman Pangan Ir Heria Prisni, Camat Balikpapan Utara (Balut) Sugianto SSos Map, Lurah Karang Joang Djamhari, perwakilan dari BPS, RT setempat dan puluhan petani padi diwilayah tersebut.

Agus menyampaikan, bertanam padi adalah dalam rangka mendukung program pemerintah untuk Peningkatkan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebanyak dua Ton. Sehingga Gapoktan “Tani Makmur” yang berada di Kelurahan Karang Joang mengembangkan penanaman padi di sawah. Mengingat pula telah dialokasikan dana pertanian sebesar Rp 450 juta dari APBN 2008 dengan target 100 Ha, petani padi Karang Joang mengambilnya sebanyak 30,5 Ha untuk padi sawah dan 20 Ha lagi untuk padi gunung atau ladang.

“Tapi saat ini kita hanya padi sawah. Padi ladang rencananya November yang rencananya di daerah sektor waduk manggar,” terangnya.

Agus mewakili para petani juga menyampaikan sejumlah harapan. Perbaikan infrastruktur/akses jalan dari lokasi persawahan sehingga melancarkan proses pengangkutan hasil pertanian. Pun diharapkan perbaikan saluran irigasi yang kini buntu akibat pembuatan jalan dalam kegiatan peninggian waduk manggar. Pengadaan mesin penggiling pun juga menjadi harapan utama mereka dengan asumsi bahwa produksi rata-rata per Ha empat Ton Gabah Kering Giling (GKG). Maka diperkirakan akan ada produksi gabah sekira 200 Ton.

“Mudah-mudahan petani akan terus berkarya dan terus maju dengan motto “Petani Makmur. Dan ini tidak bisa berkembang tanpa dukungan dari berbagai pihak,“ ucapnya seraya tersenyum.

Sementara itu, Kadis Pertanian Chaidar Chairulsyah menyampaikan apresiasi besarnya dengan kinerja “Tani Makmur” ini. Dan sebagai bentuk dukungan itu, Chaidar berjanji akan menghadiahkan masing-masing satu unit hand tractor dan power threser untuk semakin menyemangati para petani padi itu. Dengan harapan wilayah itu menjadi rancangan percetakan sawah supaya optimal hasilnya.

“Nanti mesinnya kita serahkan ke kelompok tani. Sekarang belum bisa karena masih dalam proses tender. Semoga dengan ini bisa meningkatkan kesejahteraan,“ harap Chaidar.

Sebelum seluruh yang hadir benar-benar turun ke sawah untuk memanen padi, Wawali pun didaulat untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Rizal mengaku kagum karena sangat jarang bisa menjumpai persawahan di daerah kota. Selain itu, dengan bertani padi juga membantu kelangkaan beras di Balikpapan. Juga masyarakat Balikpapan tidak perlu lagi membeli beras dari luar karena pasokan beras dari Kota Minyak sudah benar-benar mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Balikpapan.

“Saya mengundang para petani bertandang ke rumah jabatan wawali. Disana nanti kita akan buat pasa (13 okt)

salam tempel

Supaya Lebih Sopan, Anak-anak Tambah Semangat Bertamu Tradisi Angpau dan Ornamen Pintu saat Lebaran Idul Fitri

TRADISI memberikan uang receh bagi anak kecil yang berkunjung ke rumah saat lebaran Idul Fitri bukan hal yang baru bagi masyarakat Kota Minyak. Hanya saja budaya itu kini dikemas lebih rapi sama seperti tradisi masyarakat Tionghoa saat perayaan Imlek. Uang dimasukkan dalam amplop mungil yang dikenal dengan sebutan angpau.

Mengemas uang receh biasanya pecahan Rp 1.000, Rp 5.000, Rp 10.000, walaupun ada yang sampai Rp 50.000 bahkan Rp 100.000 per anak. Dulunya uang receh itu begitu saja diserahkan, biasanya ketika si bocah hendak berpamitan setelah menikmati jajanan lebaran. Namanya juga anak-anak, kalau tahu uang yang diberi pemilik rumah tergolong besar, pasti ada saja yang nakal dengan kembali berkunjung ke rumah yang bersangkutan.

Berburu angpau dilakukan lebih sering dilakukan anak-anak secara berjamaah. Tidak ada penunjukkan langsung siapa yang jadi pemimpin, namun ada saja anak yang dijadikan panutan sekaligus penunjuk jalan mana saja rumah yang angpaunya hendak diserbu.

Dengan munculnya angpau lebaran Idul Fitri, bocah-bocah lebih bersemangat untuk bersilaturahim walaupun tujuan utamanya ya angpau itu, atau mengantongi kue lebaran yang dianggap paling lezat serta minuman kaleng.

“Bapak kan anak tertua. Jadi kalau lebaran hari pertama pada ngumpul di rumah semua,” kata Lina, warga RT 04 Karang Jati yang baru saja membeli angpau lebaran.

Lina memborong dua plastik angpau Idul Fitri. Setiap paket isinya bisa lima sampai 10 angpau. Selain lebih praktis, angpau lebaran lebih terlihat sopan ketika akan diserahkan kepada anak-anak. Kesannya itu bukan seperti tamu datang kemudian diberi uang. “Biar lebih sopan saja, lagi pula amplopnya menarik, masih bisa disimpan buat kenang-kenangan,” kata Lina yang tercatat sebagai mahasiswi Politeknik Samarinda

Ukuran, bahan dan model amplop versi Idul Fitri sama seperti amplop untuk Imlek. Hanya saja, kalau amplop angpau Imlek ini hanya ada satu warna yakni merah dengan ukiran huruf kanji di atasnya. Ada juga gambar sepasang tokoh kartun, dengan mata sipit yang mengenakan baju Shanghai. Tokoh kartun wanita, rambutnya dikepang dua yang disertai sanggul berbalut kain merah, sementara kartun pria mengenakan penutup kepala menyerupai lobe dengan kunciran rambut yang panjang dibelakangnya. Kedua tangan kartun ini terkatup didepan dada seolah mengucapkan “Gong Tzi Fat Choy“.

Untuk versi Idul Fitri, terdapat aneka warna pilihan. Diantaranya merah, putih dan hijau. Motifnya pun beragam. Ada gambar masjid, ketupat dan orang yang sedang bersalaman dengan mengenakan busana muslim. Ada juga amplop dengan motif sedikit kekanak-kanakan, seperti gambar kartun yang lucu. Tapi tetap tidak meninggalkan suasana yang oleh umat muslim di Indonesia menyebutnya Lebaran. Karena disetiap amplop terdapat tulisan Selamat Idul Fitri, Minal Aizin Wal Faizin atau Mohon Maaf Lahir Batin.

Selain angpau lebaran, ada pula tradisi lain yang diadopsi yakni ornamen buat dipajang di pintu. Saat perayaan Natal, ornamen yang biasa dipasang di pintu berupa tokoh Sinterklas, bunga berbentuk bulat dan lainnya. Sementara ornamen pintu untuk lebaran Idul Fitri berbentuk masjid, ketupat, serta ucapan mohon maaf lahir dan batin.

“Harga angpau lebarannya murah kok, cuma Rp 3.000 per plastik, isinya 10 amplop. Kalau ornamen pintu, ada yang Rp 25 ribu, Rp 35 ribu tergantung bentuknya,” ujar seorang penjual di kawasan Damai.

Penjaga toko UD Adi Jaya, Anis mengatakan, jelang lebaran seperti sekarang, angpau Idul Fitri di tempatnya terjual sebanyak 500 amplop. “Rata-rata yang beli dari kalangan muda,” sebutnya.(*)


ga punya mukena

Kisah Gakin di Jl A Wahab Syahrani RT 64 Batu Ampar

LEBARAN sebentar lagi. Umat muslim bergembira menyambut datangnya Hari Kemenangan. Namun tidak demikian halnya kaum dhuafa satu ini, yaitu pasangan Paimung dan Sining serta seorang anaknya Robayah.

Kaum dhuafa ini, sepertinya tidak terlalu memikirkan apa yang harus dilakukan saat lebaran tiba. Seperti menyiapkan hidangan kue-kue kering, minuman ringan, membersihkan rumah dan menyambut kedatangan tamu.

Namun yang pastinya, pasangan suami istri (pasutri) Paimung dan Sinin serta satu-satunya buah hati Robayah tetap melaksanakan salat Id di masjid terdekat. Tidak memiliki mukena bukan menjadi alasan untuk tidak melaksanakan salat, karena masih ada sarung yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi aurat. Karena momen itu hanya datang sekali dalam setahun, tentu saja sayang untuk dilewatkan.

“Abis salat, di sini aja (rumah, Red) gak kemana-mana. Gak ada uang,” ujar Robayah yang duduk di samping Sinin. Sementara Paimung sore itu belum pulang dari bekerja.

Yah, kemarin, media ini menyambangi kediaman Paimung bertempat Jalan A Wahab Syahrani RT 64 Batu Ampar (Batam). Keluarga yang telah 10 tahun menetap di Balikpapan itu hingga sekarang belum mengantongi kartu gakin. Padahal jika diperhatikan mereka termasuk dari kaum mustahik yang hidup dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki pekerjaan tetap dan hidup benar-benar pas-pasan.

Pasutri ini mengira-ngira usia mereka sudah kepala tujuh. Dan Robayah mengira-ngira usianya telah mencapai kepala tiga. Dalam keseharian, Paimung bekerja sebagai pemotong rumput. Tapi secara manual, tanpa menggunakan mesin, lantaran Paimung tidak sanggup untuk memikul mesin pemotong rumput. Sementara Sinin, ia tidak dapat melakukan apa-apa. Tubuhnya yang ceking, kering dan keriput itu membuktikan bahwa lansia dengan rambut memutih itu tidak mampu bekerja keras. Sehingga dalam kesehariannya, Robayah lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.

Tidak mengantongi kartu gakin, dikatakan Robayah lantaran belum memiliki surat-surat pindah yang lengkap dari tempat asal mereka yaitu Sanjai Sulawesi Selatan. Sehingga sulit bagi mereka yang hidup dari meminjam tempat dari saudara untuk memperoleh haknya sebagai keluarga miskin (gakin).

Rumah yang ditempati itu dari depan tampak seperti rumah biasa. Namun tak selamanya bagus diluar bagus juga didalam. Hujan lebat yang mengguyur Balikpapan disertai angin kencang beberapa waktu lalu, telah memporak-porandakan tempat Mandi Cuci Kakus (MCK), sehingga rumah itu telah tidak memiliki MCK lagi. Dan bukan hanya itu. Bangunan yang berdiri diatas tanah liat dengan bagian belakang berbatasan langsung dengan sungai kecil, telah menjadi mereng sekira 30 derajat. Mungkin jika kembali hujan lebat dibarengi angin kencang, rumah sangat sederhana itu akan roboh seketika.

“Takut tambah longsor nanti,” celetuk Sinin dengan suara kecil, pelan dan halus.

Rasa khawatir yang luar biasa, membuat keluarga malang ini berencana pindah. Pindah dengan membangun gubuk kecil yang menempel di salah satu kediaman sanak famili. Kediaman sanak famili itu juga tidak jauh dari tempat tinggalnya, karena masih mencakup satu RT. Namun karena berbenturan dengan biaya, terpaksa niat itu diurungkan. Padahal mereka sangat berharap sekali saat lebaran, telah menempati rumah barunya. “Rencana mau tambal dari rumah saudara, tapi belum ada dana. Katanya itu Rp 500 ribu. Kalau baju lebaran dikasi-kasi orang aja,“ tutur wanita bertubuh kurus itu.(*)

cerita nek pinah..

Kenang Almarhum Suami, Nenek Pina Menyendiri di Gubuk Reot
Cucu Tak Merestui, Batal Dipindah ke Panti Jompo

Begitu miris hati ini, jika melihat sekilas kehidupan Pina. Lanjut usia (lansia) ini seorang diri hidup di satu gubuk reot, tempat ia berteduh dari hujan, panas dan melepas lelah di malam hari. Sementara ia masih memiliki anak yang tinggal tidak jauh dari gubuknya.


PINA, tiga tahun lagi genap berusia 100 tahun. Namun, kekuatan tenaga yang ia miliki tidak menunjukkan bahwa ia telah berusia 97 tahun. Ia masih mampu berjalan menapaki jalan bertangga yang terjal tanpa bantuan apapun. Kecuali malam, ia butuh bantuan seseorang sebagai penuntun arah, karena ia sudah tidak mampu lagi melihat dengan sempurna.

Pina yang uzur lebih menyukai hidup dalam kesendirian, meskipun sangat terbatas. Sekira empat tahun lalu, warga Jalan Dahor 2 Kelurahan Baru Ilir ini mendirikan gubuk di lahan sempit, tepat belakang perumahan Pertamina, kawasan RT 49. Padahal saat itu, ia tinggal bersama putrinya yang telah berkeluarga di RT 47 yang tentu saja masih mencakup wilayah Baru Ilir.

Gubuk, ukuran mulai panjang dan lebar tidak lebih dari dua meter. Gubuk itu sendiri terbuat dari papan-papan bekas bangunan, seng, bambu, karpet dan kertas-kertas karton. Pina telah meminta tolong kepada pemuda setempat untuk membantu mendirikannya. Dan dalam gubuk itu ada kasur, kompor dan rak tua yang terbuat dari rotan untuk menyusun pakaian dan peralatan makan.

Di luar gubuk, terdapat dua drum berkapasitas 50 liter yang ditutupi dengan plastik yang ditimpa dengan sepotong kayu tebal. Tujuannya agar air tidak kemasukan kotoran. Dibagian atas, terdapat dua tali jemuran. Ditempat terbuka itulah Pina melakukan rutinitas Mandi Cuci Kakus (MCK). Disebelahnya ada kebun mini Pina sepanjang satu meter. Ia menanami tanaman singkong, pepaya dan masih ada beberapa jenis sayuran lain disana yang digunakan sebagai pauk.

Masalah air, ia mendapatkan yang layik, karena terdapat selang yang dialirkan dari sumber mata air Pertamina. Dengan adanya selang itu, tidak jarang warga sekitar turut menampung air dari di gubuk itu.

Udara dingin di malam hari seakan tidak ia rasakan karena ada selimut tebal yang mendekap erat tubuh rentanya. Sengatan dan nyanyian serangga penghisap darah pun bisa ia hindari dengan menggunakan kelambu. Sehingga lansia bertubuh ceking dan keriput itu bisa nyenyak dalam tidur. Sebagai penerang di malam hari, nenek empat cucu itu mengandalkan lampu botol. Ia telah benar-benar menyiapkan segala sesuatunya untuk menetap di gubuk itu.

Apa yang membuatnya lebih memilih tinggal di gubuk sempit di atas lahan yang bukan miliknya? Sementara masih ada rumah anak yang layak dan nyaman untuk ditinggali. Lansia yang telah menjanda sejak 30 tahun itu menuturkan, ia tidak selamanya menetap di gubuk. Terkadang ia pulang ke rumah anaknya yang bernama Sutimah di RT 47 itu, meskipun di hari terang ia memilih menghabiskan hari di dalam gubuk. Hanya saja, jika ia sedang ingin menyendiri, merenung atau mengenang masa-masa dulu bersama suami, ia memilih ke gubuk derita. Bisa saja satu hingga dua minggu ia bermalam di sana. Anak-anak tidak ada yang mampu melarang. Jarak yang tempuh dari gubuk ke rumah sekira 250 meter dengan medan yang menanjak.

Selasa (23//9) pagi, gubuk derita itu disambangi Istri Wakil Wali Kota, Hj Arita Rizal didampingi lurah setempat bersama Kantor Pemberdayaan Masyarakat (KPM). Arita begitu mengkhawatirkan kondisi Pina yang hidup menyendiri. Setelah dibahas bersama lurah dan KPM, muncul rencana memindahkan Ibu tiga anak itu ke Panti Jompo.

Namun, seorang cucunya, Afendi, putra Sutimah yang telah berumah tangga itu merasa keberatan jika si nenek dibawa jauh darinya. Afandi memastikan bahwa ia mampu membiayai kehidupan Pina. Akhirnya, diputuskan, Pina harus beranjak dari gubuk dan kembali ke rumah. Selanjutnya gubuk itu akan dibongkar habis. Dan sebagai informasi tambahan, hari ini pihak kelurahan akan kembali menyambangi Pina dan menemui Afandi untuk meminta kepastian.

liat museum perang yukz

Murid SMP Diajari Nembak, Murid TK Nonton Film Latihan Perang

WIH, keren. Kini di Kota Beriman telah hadir museum perjuangan yang berlokasi di Rumah Jabatan (Rumjab) Kepala Hukum Kodam

VI/Tanjungpura. Mau lihat beragam atribut militer, senjata, granat tangan, dan seputar perlengkapan militer lainnya. Mau belajar menembak bisa juga loh atau nonton film latihan perang.

Museum Tanjungpura ini kemarin secara resmi dibuka untuk masyarakat umum oleh Pangdam VI/Tanjungpura Mayjen TNI Tono Suratman. Launching museum ditandai dengan kunjungan pelajar dan murid TK di lingkungan Yayasan Kartika.

“Aku kalau udah gede mau jadi tentara,” seru seorang bocah TK yang mengenakan seragam tentara lengkap dengan pangkat dan sempritan di lengan kanan.

Keliling melihat koleksi museum Tanjungpura tak hanya menciptakan kekaguman akan kekuatan militer Tanjungpura. Semangat juang dan rasa patriotik bangsa langsung bergelora. “Masuk museum gratis dan ini terbuka bagi masyarakat umum. Silakan bagi mereka yang ingin berkunjung, museum kami buka mulai pukul 09.00 hingga 15.00 setiap Senin hingga Jumat,” ungkap Kepala Museum Tanjungpura, Capten Chb Sartono yang juga Bintal Kodam VI/Tanjungpura.

Di ruang tengah museum, berjejer rapi aneka jenis senjata api, peluru serta alat komunikasi yang digunakan selama jajaran Kodam VI/Tanjungpura melakukan operasi menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Koleksi senjata api misalkan, tersimpan rapi dalam lemari kaca senjata kaliber 45 yang digunakan fretilin yang berhasil dirampas oleh anggota Yonif 621/MTG saat operasi Timtim tahun 1978. Sedangkan amunisi, diantaranya kaliber 12,7 milimeter. Jenis amunisi ini untuk senjata mesin berat Browning 50 HBFL yang digunakan oleh pasukan Yonif 611 Awang Long saat operasi Seroja di Timor-Timur tahun 1988.

Tak hanya peluru dan senjata api, terompet yang digunakan saat pemakaman prajurit yang gugur di daerah operasi dan sangkakala yang digunakan pada tahun 1964 juga terpampang di satu lorong. Bulu kuduk agak sedikit berdiri ketika tak jauh dari lorong tadi terdapat prasasti bertuliskan nama sejumlah prajurit yang gugur saat operasi mulai 1957 hingga 2005. Foto-foto pangdam dan Kasdam sebelum reorganisasi juga tersusun rapi di satu lemari kaca yang terkunci rapat semakin menambah rasa kecintaan akan kekuatan militer di tanah air. Sementara di luar bangunan museum, terpajang dua meriam asal negara Inggris dan Australia yang dioperasikan tahun 1942.

“Kalau nanti ramai pengunjung atau ada yang datang rombongan, bisa kita putarkan film dokumenter latihan tempur. Kita juga siapkan lapangan latihan tembak. Nanti menembaknya pakai senapan angin,“ jelas Sartono.

Dikatakan, tujuan mendirikan museum, untuk menggugah kembali semangat bangsa Indonesia untuk mencintai tanah air. Juga mengenang sejarah pendahulu yang berjuang mendirikan negara Indonesia. Sasaran utama adalah kalangan pelajar dengan harapan mampu menumbuhkan rasa cintanya kepada tanah air.(*)