Selasa, Maret 02, 2010

Mengenal Bank Indonesia




Uang, devisa negara, sistem pembayaran non tunai dan kliring. Empat hal tersebut nyata tidak bisa lepas dari peran serta bank indonesia.

Sesuai undang undang nomor tiga tahun 2004, sebagai bank sentral, bank indonesia wajib menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. untuk mencapai itu, terdapat tiga pilar utama yang menjadi tugas bank indonesia, yaitu, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi kinerja perbankan.

Selain dituntut melaksanakan tugas utama tersebut, bank indonesia juga diminta untuk tetap memiliki komitmen kepedulian terhadap lingkungan sebagai wujud dari program Coorporate social responsibility (CSR).

Saya, atas nama radio IDC Fm, menjadi satu dari enam media di Balikpapan yang berkesempatan mengunjungi Bank Indonesia, Jakarta Pusat selama tiga hari, pada awal Desember 2009 lalu.

Tulisan ini pun, mencoba membahas seputar program kepedulian bank indonesia dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan.

*******************************************

Kedatangan kami dalam rangka mengenal lebih dekat dengan bank indonesia.

Tentu saja kedatangan kami didampingi empat pegawai kantor bank indonesia balikpapan, yang bertindak selaku fasilitator.

Sesampainya di sana, sambutan hangat seorang staff humas bank indonesiai menyapa kami, para insan media asal balikpapan, yang berkunjung ke gedung bank indonesia, pagi itu.

Tanpa membuang-waktu, kami pun diajak kedalam ruangan yang cukup besar, dan didalamnya sudah hadir para pembicara yang akan menyampaikan segala hal menyangkut hak dan wewenang bank indonesia.

Berbicara mengenai hak dan wewenang bank indonesia, tentu tidak terlepas dari yang namanya peredaran uang, pengelolaan devisa negara, sistem pembayaran non tunai dan kliring.

Namun saya sendiri lebih tertarik membahas mengenai program kepedulian bank indonesia atau csr terhadap lingkungan. ini mengingat kondisi bumi kita yang cukup memprihatinkan dewasa ini.

Yang nyata pula, kepedulian lingkungan bank yang berdiri sejak 1951 tersebut selanjutnya berimbas positif pada perekonomian warga setempat.

Setelah membenarkan posisi duduk dan menghidupkan mikrofon dihadapannya, staff pengedaran uang direktorat perkembangan uang dan perencanaan bank indonesia, Yustiman, menyampaikan, bahwa sejumlah Kantor Bank Indonesia dibeberapa daerah, diperkenankan memberi limbah uang kertas atau briket secara cuma-cuma kepada pelaku usaha kecil menengah setempat, satu tahun belakangan ini.

Satu contoh, oleh pelaku Usaha kecil Menengah (ukm) di Jawa Timur (Jatim), limbah briket tersebut pun dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan, seperti boneka.

Padahal sebelumnya, uang-uang yang telah dihancurkan tersebut hanya dibuang begitu saja di tempat pembuangan akhir sehingga menjadi limbah yang merugikan lingkungan.

”Kita buangnya tidak sembarangan. Setelah di uraikan terus kita ratakan di tempat pembuangan akhir sehingga tidak berceceran. Kemudian kalau brikat, itu kan beberapa ukm di jawa timur ingin memanfaatkan limbah itu. Dan kita koordinasi dengan kantor bi disana,” papar Yustiman.

Kesadaran tentang pentingnya mempraktikan program CSR memang menjadi tren global.
Selain sebagai wujud penerapan prinsip Good Corporate Governance, juga terkait dukungan pencapaian tujuan milenium goals development.

Menurut Yustiman, hal ini salah satu upaya dalam menunjukan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. selain itu juga sebagai upaya pengurangan angka kemiskinan menjadi 50 persen dari 18 juta jiwa lebih, pada 2015.

Ibarat sekali mendayung dua terlampaui. Lingkungan menjadi sehat dan kesejahteraan masyarakat sekitar pun tercapai.

”Briket limbah racikan kertas, itu sangat sulit untuk di daur ulang. Karena tintanya itu cukup padat. Dankita ga buang-buang uang, karena itu memang limbah,” ujarnya lagi.

Tidak berhenti sampai disitu.

Untuk kalangan sendiri, peti pengiriman uang bank indonesia ke daerah melalui jasa transportasi laut, rencananya diganti menjadi bahan sejenis kertas karton anti air dari sebelumnya berupa kayu papan.

Staff pengedaran uang lainnya, Agus Susanto, mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, bahan karton lebih tahan air dan lebih tahan lama ketimbang kayu yang lekas lapuk.

”Untuk kemasan sudah disiapkan standarisasinya itu. Kalau dulu menggunakan kayu, kan lekas lapuk. Kita berencana mengubahnya dengan bahan kardus yang tahan air. Itu beberapa negara juga telah menggunakannya,” terang pria berbadan subur itu.

Selain itu, lanjut agus, pihaknya saat ini telah melakukan pengkajian, terhadap bahan baku uang kertas yang ramah lingkungan. Dalam pengkajian ini pihaknya mencoba mengambil sampling dari sejumlah perusahaan pemasok kertas di dunia.

”Kita akan lakukan kajian komprehensif, mungkin ga di Indonesia ada dua perusahaan kertas yang bisa untuk bahan dasar pembuatan uang,” ungkap Agus.

Beranjak dari hal tersebut, di indonesia terdapat 107 kliring lokal, baik dilaksanakan bank indonesia mapun pihak lain yang ditunjuk bank indonesia.

Melaui sistem kliring, para nasabah perbankan bisa melakukan transfer debet dan kredit yang disertai dengan pertukaran warkat baik debet seperti cek dan nota, atau bisa juga melalui warkat kredit.

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, kebutuhan kliring kian meningkat. dengan volume rata-rata harian mencapai 300 ribu lembar transaksi, penggunaan didominasi warkat kredit seperti transfer dana antar bank.

Nah, untuk tingkatkan pelayanan dibidang kliring, sejak awal 2009, bank indonesia siapkan empat unit mesin baca pilah kliring buatan Kanada.

Bagian kliring bank indonesia, Iwan Setyono, mengatakan, dengan menyiapkan alat baca pilah kriliring, potensi penghematan waktu penghitungan mencapai 95 persen.

Menurut Setyono, sebelumnya penghitungan dan pemilahan kliring dilakukan secara manual sehingga prosesnya pun menjadi lambat.

Dengan adanya mesih baca pilah, pegawai kliring yang dulunya berjumlah 50 orang, kini hanya mencapai 21 orang.

”Dengan adanya alat ini, jam enam kita sudah siap. setelah ada alat ini, tenaga yang dibutuhkan hanya 21 orang dari sebelumnya 50 orang,” ujarnya seraya menambahkan penerimaan warkat dari bank per hari mencapai 60 ribu hingga 120 ribu lembar.

Pertemuan yang menghabiskan waktu sekisar dua jam tersebut pun disudahi, dan selanjutnya kami bertolak menuju gedung Percetakan uang republik indonesia (Peruri) di kawasan kerawang.

Di peruri inilah mata uang rupiah dicetak berdasarkan permintaan bank ineonesia. disamping juga kertas berharga lainnya seperti materai, pasport, tiket pesawat dan ijazah.

Ada temuan menarik disana (menurut saya loh). Tahun 2009, merupakan kali pertama dilaksanakan program pensiun dini bagi karyawan Peruri.

Pensiun dini tersebut dilakukan pada enam desember lalu, yang mana masing-masing pegawai mendapat dana pensiun senilai 300 hingga 500 juta rupiah per orang.

Kepala biro komunikasi dan administrasi peruri, Herlan Arbanto, mengatakan, pihaknya memberi kesempatan bagi 100 dari 2300 karyawan Peruri untuk menikmati pensiun dini.

”Istilah pensiun dini kita baru tahun 2009. ada syarat khusus bagi karyawan yang mau mengajukan. Antara lain, mengalami sakit berkepanjangan, usia diatas 50 tahun dan dinilai kurang produktif,” jelas Herlan.

Menurut Arbanto, program perampingan ini sebagai upaya dalam peningkatan pelayanan hingga internasional.

Nah, pada 2010 ini, Peruri berencana melebarkan pasarnya melalui tender-tender internasional dibeberapa negara potensial. diantaranya Argentina, Nepal, Afrika, Malaysia dan Sri Langka, untuk percetakan kertas berharga.

Menurut Arbanto, hal ini juga untuk menunjukan kemampuan peruri dalam menatap masa depan menuju perusahaan berskala dunia yang unggul.

”Sejak 2008 kita terus giatkan perkembangan di negara lain. Beberapa waktu lalu, sejumlah negara timur tengah kunjungan ke mari dan menyatakan ketertarikan untuk bekerjasama dengan kita. 2010 sendiri kita melirik negara yang memang belum memiliki perusahaan percetakan uang,seperti nigeria, nepal dan argentina,” ulasnya.

Saya pun berpikir sejenak. Bank yang berdiri sejak 1951 tersebut saat ini memang sedang sibuk kembangkan sayap, dalam sangka pemulihan ekonomi dan tanggung jawab sosial yang diemban.

Tentu saja disamping kesibukan hadapi tudingan sejumlah oknum bank indonesia terkait kasus korupsi bank century.

Namun adakah upaya bank indonesia, untuk melakukan penilaian dan pengawasan kinerja dan kesehatan bank, agar kasus dugaan korupsi perbankan tidak lagi mencuat??!!.*n_n*

Potret Wanita Perkasa

Di kota berkembang seperti Balikpapan, masih ditemukan para pekerja wanita yang terpaksa ikut mencari nafkah, dengan melakukan pekerjaan kasar.

Dalam perjalanan hidup yang cukup panjang, mereka bekerja keras, dengan bermandikan peluh, mengganti kewajiban yang seharusnya diemban oleh suami.

Yah, mereka lah para janda, pekerja kasar wanita, dengan hidup di bawah garis kemiskinan yang berupaya bertahan hidup ditengah gemerlapnya kota minyak Balikpapan.

Dan saya pun tertarik untuk berbincang dengan segelintir wanita perkasa itu..

***************************

Wanita paruh baya itu bernama sunariah, warga gunung bakaran kelurahan sepinggan, balikpapan selatan.

Usia wanita dengan warna kulit kecoklatan kusam itu sudah melampaui setengah abad, yakni 58 tahun, sehingga tampaklah kerutan yang bergelambir pada kulitnya.

Janda dengan enam anak itu bekerja sebagai pemulung, mengais-ngais sampah bau di tong sampah atau memungutinya di pinggir jalan.

Sunariah mencari barang-barang yang layak jual, seperti kardus, plastik dan botol, kemudian menjualnya pada lapak.

Baju dinas berupa kaus oblong, celana panjang dan jilbab lusuh, lengkap dengan topi bundar serta sandal jepit butut. tidak ketinggalan keranjang sampah dari rotan dan alat pengais, yang setia menemaninya beraktivitas setiap hari.

Sunariah bercerita, aktivitas mulung dilakukan pagi hingga tengah hari. biasanya sunariah mulung di kawasan pasar klandasan, pasar pandan sari dan sekitar rumah.

Hasil mulung rata-rata 10 hingga 17 ribu rupiah per hari. menurutnya, untuk satu kilo gram kardus, seharga 400 rupiah, plastik seharga 600 rupiah dan botol seharga 300 rupiah.

”Saya itu mbak, mulung dari habis salat subuh sampe itu jam 12 siang. Yaa.. sukurin aja mbak dapat 10 ribu 15 ribu atau 17 ribu ya alhamdulillah,” ujar Sunariah seraya tersenyum.

Selain mengais sampah, wanita berdarah buton itu juga mencari nafkah dengan menjual telur ayam milik orang lain, dari rumah ke rumah. untuk satu piring ia memperoleh keuntungan 1000 rupiah. dan biasanya dalam satu hari ia hanya mampu menjual lima piring telur dengan hasil pendapatan 5000 rupiah.

”Pulang dari mulung saya salat duhur. Trus masak, trus saya pigi jualan telur mbak. Keliling sini-sini aja dekat rumah,” lanjutnya.

Sunariah menjadi janda sejak lima tahun lalu. Ia bercerita, sang suami meninggal dunia akibat mengalami kecelakaan saat memulung sampah.

Memang, memulung sudah dilakoni sunariah dan suami sekisar 30 tahun lalu, bertepatan dengan usia pernikahan mereka. namun, seiring dengan meninggalnya sang suami, membuat sunariah harus bekerja ekstra keras, menghidupi dirinya, anak dan ayah dari almarhum suaminya yang kini telah sakit-sakitan.

”Suami saya sudah ga ada mbak. Suami saya meninggal ditikam orang waktu mulung, sudah ada itu lima tahunan,” tuturnya dengan mata sedikit menerawang, seolah mencoba mengingat kembali peristiwa menyedihkan itu.

Akibat terlalu giat bekerja, tak jarang sunariah merasa nyeri pada tubuh, khususnya sendi punggung dan pinggang yang kerap memikul sampah-sampah hasil memulung. kalau sudah begitu, sunariah hanya melakukan pengobatan secara tradisional karena tersandung di biaya untuk periksa ke dokter.

”Kalau berobat dokter ya ga ada biaya. Kadang saya urut sendiri atau minta tolong tetangga aja sudah,,” lirih Sunariah.

Untungnya, dari enam anak tersebut, hanya satu yang masih dibiayai bersekolah, yakni ana, yang kini duduk dibangku kelas 1 smk negeri 4, jurusan perhotelan.

Dua anak lainnya telah berkeluarga dan menetap di pulau jawa, dua anak lagi meninggal dunia saat usia remaja dan satu lagi pergi merantau, mencoba mengadu nasib di kota sorong.

”Dua anak saya udah meninggal juga mbak, sakit mereka.. ada anak saya sudah kerja di sorong. Tapi enggak lah mbak. Saya ga mau nyusahin anak,” tegasnya lagi.

Kewajiban dan beban serupa juga dialami Yamini, warga kampung damai balikpapan selatan.

Wanita berusia 51 tahun itu justru menyandang status janda sejak tahun 1998, saat ia tengah mengandung tujuh bulan anak terakhir. saat itu sang suami yang bekerja sebagai pemulung meninggal dunia akibat mengalami sakit.

”Saya itu ditinggal suami meninggal saat hamil tujuh bulan. Ya kayak apaa.. saya namanya baru melahirkan ga bisa kerja.. alhamdulillah waktu itu tetangga ada aja yang bantu. Trus tiga bulan baru saya mulai kerja lagi mbah,” kenang Yamini.

Jadilah ibu enam anak itu menjadi tulang punggung keluarga, bekerja keras diterik matahari, dengan memulung dan menjaja kue keliling tempat tinggalnya.

Menurut yamini, dalam satu hari dari kedua aktivitas tersebut ia mengantongi hasil 20 hingga 25 ribu rupiah.

Dari jerih payahnya itu lah ia bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang sma. saat ini wanita berdarah jawa itu membiayai sekolah dua anaknya, masing-masing jenjang sma dan sd. yamini juga membiayai ibunya yang menderita strok, sejak empat tahun lalu.

Sementara tiga lainnya telah berumah tangga dan satu lagi merantau di pulau jawa.

”Ada seh mbak anak. Tapi enggak lah, saya masih bisa bekerja cari nafkah sendiri. Kasian anak-anak hidupnya juga pas-pasan mbak,” ucap Yamini.

Sungguh beratnya beban yang di pikul Yamini. meski begitu,
Ia tidak mengizinkan anak-anaknya untuk membantu mencari nafkah.

Wanita berbalut jilbab itu hanya ingin anaknya belajar giat, menuai prestasi dan mendapat pekerjaan layak. yamini berharap agar anak-anaknya tidak bernasib sama dengan dirinya.

”Mudah-mudahan mbak.. mudah-mudahan saja anak-anak saya ini tidak bernasip sama seperti saya...,” ucap Yamini penuh harap.

*********************************

Sunariah dan Yamini, keduanya membangun rumah ala kadarnya di atas tanah milik orang lain. dengan kondisi rumah beratap seng, berdinding dan beralaskan kayu papan, tidak membuat keduanya mengeluh pada nasib.

Karena mereka tidak punya keahlian lain selain mulung dan berjualan untuk memperbaiki taraf hidup. mereka juga tidak ingin menyusahkan anak mereka dan orang lain dengan memintanya menanggung kebutuhan hidup mereka.

Mereka bekerja keras dengan senyum yang ikhlas, untuk masa depan anak-anak, tanpa berharap adanya pamrih.

Pengalaman Sunariah dan Yamini, memberi ilmu dan pesan moral pada diri saya tentang kehidupan yang sangat berharga. yaitu tentang semangat dan tekun dalam menjalani pekerjaan dalam hidup.

Satu lagi pelajaran yang paling utama yang dapat saya petik adalah, selalu bersyukur atas rizki dan nikmat yang diberi Allah SWT.(***)