Jumat, Juli 25, 2008

Renungan di Hari Anak Nasional


Tanggal 23 Juli adalah hari anak nasional. Di usianya, anak seharusnya menghabiskan sebagian besar waktunya belajar di sekolah serta bermain. Nyatanya di Kota Minyak sekalipun, masih banyak anak yang harus bekerja karena tuntutan ekonomi.

Selasa (22/7) pagi suasana Balikpapan berselimut mendung setelah hujan semalam suntuk. Sama seperti beberapa hari sebelumnya akhir-akhir ini. Melongok aktivitas kota Balikpapan diatas dua roda, di simpang empat lampu merah Balikpapan Baru, terlihat segerombolan anak-anak berpakaian lusuh dengan menggendong tumpukan koran. Kulit anak-anak itu berwarna gelap akibat seringnya menantang panas matahari. Rambut mereka tak ubahnya seperti rambut jagung yang kasar dan berwarna kecoklat-coklatan, dan tentu saja merupakan dampak dari penerang langit di siang hari.

Setelah sandarkan motor, yang tidak jauh dari simpang lampu merah, aku mencoba mendekati seorang diantara segerombolan anak-anak penjaja koran. Akibat sejumlah tanda tanya muncul di benak. Apa mereka masih bersekolah, ataukah sudah berhenti. Kenapa diusia belia mereka memilih kerja daripada bermain dan belajar. Seperti apa sih suka duka jadi pekerja anak. Seorang anak itu yang kemudian diketahui bernama Samuk, dengan terbuka menerima kehadiranku. Tentu saja setelah memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dan tujuan.

Agak sulit lakukan komunikasi denganya. Matanya terkadang berputar kanan dan kekiri yang sepertinya mencari-cari jika saja ada yang memanggil dirinya untuk beli koran. Sesekali, Asmuk berlalu dari media ini manakala lampu lalu lintas menunjukan warna merah. Satu persatu kendaraan yang berjejer itu ia tawarkan koran dengan menunjukkan halaman utama bagian atas, tetapi korannya dilipat dua sebelumnya, agar lebih mudah digenggam. Sesekali juga ia lari menyeberang jalan, manakala terlihat kendaraan dari seberang sana melambaikan tangan kepadanya. Yang ternyata pemilik kendaraan itu juga berniat membeli koran.

“Aku berenti sekolah pas naik kelas empat SD. Karena ga ada biaya bu,“ ucap anak berusia 13 tahun ini setelah sebelumnya aku mengajaknya menepi disalah satu sudut jalan.

Jual koran sejak dua tahun lalu, tidak jarang ia dan teman-temannya dikejar-kejar Satpol-PP saat gelar razia. Akibat ketakutan luar biasa, kaki berasalkan sendal jepit yang mulai usang itu pun lari menjauh. Sekencang-kencangnya, kemudian sembunyi dibalik rerimbunan pohon yang dia yakini tidak akan bisa ditemukan keberadaannya. Dan keesokan harinya, putera pasangan Lapinggiri dan Warima ini masih tetap jual koran seperti biasa, yakni mulai pukul 07.00 hingga 12.00 Wita.

Demam tinggi pernah ia rasakan, akibat tubuh cekingnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Sakit itu menuntun si bungsu dari lima bersaudara ini istirahat selama hampir satu minggu di rumah dan tidak bisa menyetor pendapatan yang biasa ia peroleh mulai Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu perharinya kepada orangtua. Dengan demikian, ia harus istirahat beberapa waktu dari membantu si ayah yang mencari nafkah sebagai buruh bangunan. Sementara ibu hanya sebagai ibu rumah tangga.

Selang beberapa waktu, seorang bocah yang nyata terlihat jauh lebih muda dari Samuk menghampiri dan sepertinya tertarik melihat perbincangan ini. Digendongannya terlihat masih bertumpuk koran-koran. Sepertinya ia baru saja tiba dan akan mulai berjualan koran.

“Ini bu. Masih sekolah. Namanya Mardin,“ tunjuk Samuk kemudian di sambut dengan senyum kecil bocah plontos itu.

Mardin, bocah plontos usia 9 tahun ini mengaku pulang cepat hari itu. sehingga ia bisa ikut jual koran lebih pagi dari biasanya. Mardin tergolong baru bergabung sebagai penjual koran, yakni saat libur kenaikan kelas beberapa waktu lalu. Jual koran pun ia mengakui lantaran di minta oleh ibunya untuk membant si ayah yang kerjanya sebagai buruh bangunan.

“Biar jual koran, aku ga pernah ngantuk di kelas,“ aku pemain olahraga futsal di SDN 013 Gunung Bakaran.

Karena postur tubuh yang mungil, tidak jarang pembeli koran milik mardin ini tidak meminta uang kembalian. Mungkin karena rasa iba melihat anak semuda itu harus ikut menopang hidup keluarga. Padahal Mardin masih punya tugas yang lebih penting lagi, yaitu belajar. Karena ia adalah calon pemimpin bangsa yang dipundaknya lah negara ini akan bersandar. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar