Diusianya yang senja, wajar jika Siradjudin tidak ingat pasti kisah masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan. Veteran asal Laskar Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) Banjarmasin itu, kini menjadi pasien terlama di RSU Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan.
NAMA lengkapnya Mohamad Siradjudin Mahdjuri. Sore itu di bangsal 10 Flamboyan C Rumah Sakit Umum Kanujoso Djatiwibowo (RSUKD), pria yang oleh penghuni RS sekitar dipanggil Kai ini sedang duduk diatas pembaringan. Terlihat tangan kirinya memainkan tasbih berwarna putih yang terbuat dari manik-manik mata kucing. Terlihat pula bibirnya yang bergetar berkomat-kamit mengucapkan kalimat-kalimat dzikir.
Sosok kelahiran Banjarmasin 7 Juli 1931 ini cukup ramah menyambut kehadiranku. Ia pun mempersilakan aku ini duduk di sudut pembaringannya. Sedikit kaget, lantaran saat memperkenalkan diri, ia menyodorkan tangan kiri. Ternyata tubuh bagian kanan Sirad sudah tidak berfungsi alias mati separuh akibat stroke yang dideritanya.
Konon, stroke menyerangnya secara tiba-tiba sekira tiga tahun silam saat ia masih menetap di Sekretariat Dewan Pimpinan Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (DPC LVRI) Kota Balikpapan. Saat itu, ia langsung diboyong rekan sesama veteran menuju RSUKD. Dan atas kebijakan RSUKD, sejak itu hingga sekarang ia diperbolehkan menetap di ruang itu meski sudah diperbolehkan pulang. Pernah satu ketika, ada seorang kerabat yang mengajaknya keluar dari RS, tapi seorang Sirad dalah sosok mandiri dan tidak mau menyusahkan keluarga, sehingga ia lebih memilih menjadi penghuni RSUKD.
“Eee..saya..saya..ga mau gini..ga…ga..,“ ucap Sirad terbata-bata sembari mengulurtangan kirinya kemudian menggelengkan kepalanya dengan pelan.
Sirad adalah satu dari sekian pejuang kemerdekaan di era 1945 hingga 1949 di Banjarmasin. Satu yang paling berkesan dihati Sirad kala dia masih kecil, adalah saat dimana mengkuti sang ayah mengantar surat rahasia dari kandangan ke Banjarmasin. Ayah Sirad bernama Mahruji, adalah pahlawan perintis kemerdekaan. Bermodal sepeda ontel, Sirad dibonceng ayah yang terus mengayuh sekencang-kencangnya agar segera sampai ditujuan. Sirad tidak ingat persis berapa jarak dan waktu yang ia tempuh untuk sampai di Banjarmasin demi menyerahkan surat rahasia ke sosok yang bernama Kapten Rusman. Yang ia ingat, harus melewati hutan belantara yang cukup panjang dan lama dibarengi rasa was-was terhadap serangan musuh.
“Itu.. eee..dari Kandangan antar ke dari hulu sungai..eng..ke kecamatan pangaron.. eng..ke Banjarmasin naik sepeda. Pangaron ke Banjarmasin 80 km. Trus..eng..trus.. suratnya disimpan didalam ban,” dengan nada bergetar dan terputus-putus ia berusaha mengingat.
Tidak jarang Perwira Navigasi di Komando Daerah Kepolisian VII/Metropolitan Jakartaraya ini menepuk-nepuk jidatnya untuk mengingat peristiwa-peristiwa seru yang dialaminya tempo dulu. Setelah sedikit mengingat, ia kembali bercerita. Ada satu cerita lucu tentang Sirad kecil. Masa penjajahan Belanda, tidak semua orang bisa membaca. Dan Sirad yang mengenyam bangku Sekolah Rakyat sering dimintai untuk membacakan isi surat kabar harian dihadapan khalayak ramai. Namanya anak-anak, sesekali ia membaca isi berita, namun tidak sesuai dengan yang tersurat.
“Yang lucu, datu (paman,red) saya ee.. pembekal lurah.. aku disuruh baca.. neh..neh.. saya disuruh baca didepan 20 orang. Saya bilang..ee..ada berita kapal terbang mendarat di loteng (atap rumah, red). Pulang..eng..saya..saya..dipanggil datu. Mana sirad?! Dusta aja kapal terbang diloteng..,“ kenangnya sembari tersenyum.
Beranjak dewasa, Sirad menjadi seorang pelaut. Bermodal kemampuan bahasa inggris dan holand speaker, Sirad pernah menjadi wakil kapten alias modem II selama dua tahun di kapal Ga Vina. Kapal yang perairannya menuju Hongkong, RRC dan luar negeri lainnya. Setelah dua tahun, akhirnya ia turun di Jakarta dan kembali lagi menjadi awak kapal. Kali ini kapalnya berupa kapal barang menuju Singapura. Kai yang kini berusia 77 tahun ini pun tidak ingat pasti kapan ia bertemu pujaan hati hingga memutuskan mengikat tali pernikahan dan kemudian berpisah. (*)