Senin, November 24, 2008

Ketika Veteran Belum Mendapatkan Tunjangan dari Pemerintah

ASAH OTAK: Djamani, dikala senggang, memilih mengisi TTS, bertemankan secangkir kopi.




Masuk Sel Belanda, Djamani Seperti Kaset Tanpa Judul


Veteran mengantar nyawa, berjuang mengembalikan kemerdekaan kepangkuan ibu pertiwi. Sedikit mengherankan. Kendati telah turun Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Tunjangan Hari Tua (Tupat) Veteran Republik Indonesia (RI), hingga saat ini mereka dan keluarga tidak dapat menikmatinya.

SEBAGAI veteran pembela kebenaran (masa-masa 1963 hingga 1976) yang berjuang dalam pembebasan Irian Barat, Djamani hingga saat ini belum mendapatkan tunjangan dari Pemerintah RI. Padahal berdasarkan PP RI Nomor 34 Tahun 2008 yang berlaku sejak tanggal 1 januari 2008, para veteran berhak menerima tunjangan setiap bulan.
Nominal tunjangan yang disebut-sebut sabagai Tupat itu sendiri disesuaikan berdasarkan golongan, yakni golongan A hingga E. dan untuk veteran pembela masuk dalam golongan E dan berhak dapat tunjangan sebesar Rp 746 ribu setiap bulan.
“Kita sudah dapat piagam penghargaan dari presiden sebagai tokoh kehormatan. Saya bingung, kita tokoh kehormatan harus menunjukkan surat miskin baru bisa dapat tunjangan,” keluh Djamani dengan nada datar.
Pemilik nama lengkap La Ode Djamani ini sebenarnya tidak mau menuntut banyak. Dijumpai di Kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Balikpapan kemarin, ia berujar asal ada asap di dapur dan mampu biayai sekolah si buah hati saja, itu sudah cukup. Lantaran tidak mau menuntut banyak itulah, ia mencukupi kebutuhan hidup dengan mengandalkan keahliannya sebagai tenaga penjahit. Yah, dengan membuka taylor di rumah kontrakan yang sederhana berlokasi di Komplek BTN Manggar Baru itu ia berjuang menafkahi istri dan seorang anak yang kini duduk di bangku kelas V SD.
Djamani, lahir di Kaimana Irian Jaya 25 Oktober 1946. Tahun 1961, Djamani tergabung dalam Tri Komando Rakyat (Trikora), yang mana Trikora itu terbentuk atas perlawanan dengan cara militer terhadap Belanda yang tidak senang atas berubahnya status RI dari negara serikat menjadi negara kesatuan. Djamani sendiri berjuang di irian lokal, tepatnya di Kalimana, tanah kelahirannya.
Banyak pergolakan yang perlu mendapat perlawanan para pejuang. Terutama dari sisi politik, hingga akhirnya kisah penjajahan Belanda berakhir pada 1 Mei 1963. sepanjang perjuangan itulah, Djamani bersama pejuang lainnya merasakan pahitnya kehidupan sebagai negara terjajah. Tokoh-tokoh perjuangan disana, selalu dan dapat mengatasi kepentingan pertikaian yang terjadi, yang biasanya berakhir dengan penangkapan-penangkapan tokoh pejuang itu.
“Selama pergolakan itu, kelihatan bahwa penindasan terhadap pertumbuhan bangsa kita sangat tidak manusiawi. Golongan separatis tertindas. Itu sangat saya rasakan dari segi pendidikan dan pekerjaan juga dari segi fisik,“ kenang Djamani.
Sejenak mata layunya menerawang. Suami Sariyonah itu mencoba mengingat kejadian-kejadian yang ia alami pada masa pembelaan. Selang beberapa detik, ia membenarkan posisi duduknya diatas kursi, menarik nafas panjang dan kembali bercerita. Pada masa Trikora, jika pribumi dilihat mengenakan busana berwarna merah, putih atau atribut-atribut lain dengan kombinasi warna atau salah satu diantaranya, akan langsung dijegal komplotan Belanda. Pribumi itu langsung diangap sebagai kaum separatis dan langsung dihajar habis-habisan oleh tentara Belanda itu.
Pernah satu ketika, Djamani bersama sekerumput anak muda lainnya duduk bersantai di satu sudut jalan. Hanya sekadar kumpul-kumpul anak muda menghabiskan waktu.
Apesnya, sejumlah tentara Belanda yang melintas malah mereka adalah sekelompok anak muda yang membentuk demonstrasi, menuntut kebebasan. Sontak, penjajah kulit putih berbaju loreng itu menghujankan pukulan bertubi-tubi, tanpa ampun kepada Djamani dan 19 rekan lainnya. Tidak memberi kesempatan untuk menjelaskan, sekerumput anak muda itu pun di boyong ke tahanan dan mendekam disana didalamnya dua hari. Djamani mengaku sangat geram saat itu. Namun apa daya, persenjataan dan kekuatan penjajah lebih kuat dibanding mereka.
Yang berkesan pada masa itu, bagi pemilik Nomor Pokok Veteran (NPV) 20.000.764 itu adalah masa-masa setelah pembebasan Irian Barat. Rasa kebebasan berpendapat dan berbuat, kendati harus diatur dengan peraturan kenegaraan, membuatnya bisa lebih leluasa mengeluarkan pendapat.
Terlepas dari itu, Djamani pun mencoba mengadu nasib, dari Ambon kemudian ke Balikpapan bersama sang istri. Seolah Dewi Fortuna sedang tidak bersamanya, saat turun dari kapal, tas tentengan berisi dokumen penting seperti ijazah perguruan tinggi saat ia lulus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan Tata Negara di salah satu universitas di Jayapura, rahip di gondol pencopet. Pencopet itu mengira tas itu berisi uang, sehingga si pencopet memotong tas itu dari bawah hingga pegangan tas.
“Itulah kata teman-teman, saya ini ibarat kaset tanpa judul. Saya punya ilmu yang bisa saya sampaikan ketika saya terdaftar sebagai guru. Tapi apa buktinya. Ijazah saya sudah tidak ada,“ ucapnya seraya tersenyum kecil.
Untungnya, dokumen penting lainnya seperti Surat Keputusan (SK) Veteran, piagam penghargaan dari Presiden RI dan satya lencana karya satya tidak termasuk isi dari tas tenteng itu. Hingga akhirnya ia berjumpa dengan Karel Baginda, Ketua LVRI Balikpapan dan menunjukan SK itu. Kini, jadilah ia sebagai sekretaris markas daerah LVRI Provinsi Kaltim. Dan dari situ, dengan mengandalkan biaya operasional yang tidak mencapai Rp 300 ribu itu berikut kemampuannya dalam menjahit, ia menjalani kerasnya tuntutan ekonomi kota minyak Balikpapan. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar