Selasa, November 25, 2008

latihan jurnalistik


beginilah gaya priyambodo saat memberi pembekalan

 
“Sikat Sampai Licin, Kayak Kepala Kecoak"


PELATIHAN Jurnalistik media pers dan kehumasan digelar Humas Pemkot Balikpapan. Bertempat Aula Balaikota, pelatihan berlangsung sejak 25-26 November dan diikuti sedikitnya 50 peserta. Berikut isi dari pelatihan tersebut.


MATERI yang disuguhkan di hari pertama pelatihan, yakni Selasa (25/11) Peningkatan Cyber Media Jurnalistik. Sebagai pembicara Priyambodo RH Direktur Eksekutif lembaga pers Dr Soetomo (LPDS).
Priyambodo membocorkan bagaimana agar website kehumasan pemerintahan asik dan lebih interaktif. Ketika memiliki portal, penulisan dalam gaya blog biasa menggunakan bahasa formal dan dominan berisi saran. Kata dia, supaya menarik, baiknya jika disitus itu disisihkan kolom komentar. Karena situs itu official, sifatnya resmi, tetaplah mengacu kepada 5 W + 1 H (who what where when why + how). Tetapi libatkan juga apa nilai lebihnya.
“Saya ingat waktu kecil dulu. Bapak saya dari angkatan. Jadi saya disuruh sikat sepatunya. Sikat sampai licin, kayak kepala kecoa, kata bapak. Begitu juga dengan artikel atau berita. Kredibel dan kapabel. Agar beritanya dibaca orang berkualitas, buat konsep yang berbobot. Harus ada fakta, nara sumber dan back ground. Yang berbicara adalah orang yang punya hak semisal kepolisian untuk kasus kriminal dan saksi mata. Buka juga situs google sebagai penambah bahan,” ulasnya dan menambahkan panduan untuk kehumasan antara lain hindari ’benar sendiri’, kemukakan akurasi informal, manfaatkan ’off the record’ (hak ingkari nara sumber), manfaatkan Teknologi Informasi (IT), berkelakarlah secara kreatif dan yakinkan wartawan adalah mitra.
Pengajar di Galeri Fotografi Jurnalistik ANTARA (GFJA) juga menerangkan, dalam penulisan jangan langsung menggambarkan imajinasi, tetapi perhatikan dari segi pelayanan publiknya. Contoh, lanjut ayah tiga putri ini, saat kita membicarakan tentang lokasi wisata. Ceritakanlah proses perjalanannya, harus naik apa, berapa lama, ongkosnya berapa jika naik bis atau taxi. Bukan semata menuliskan eksoktik lokasi wisata itu sendiri. Dengan demikian, berita itu juga menyentuk untuk kepentingan publik, bukan semata mengangkat lokasi wisatanya saja.
Alumnus International Institute for Journalism (IIJ) di Berlin itu berbicara blak-blakan. Ia selalu serius dan cepat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan peserta yang lebih didominasi oleh kehumasan yang bermitra dengan Pemkot Balikpapan. Diantaranya Telkomsel, Lanud, TV Beruang, Polresta, PT Angkasa Pura dan RS Bhayangkara.
Suami ATS Ernawati ini juga menyoroti kebebasan pers dalam menggali berita. Satu contoh, tentang kasus mutilasi. Ketika media terlalu menuliskan secara detail bagaimana si pelaku memotong komponen-komponen tubuh korban, bisa berpengaruh kepada selera publik. Cilakanya, ketika media terlalu menuliskan secara detail proses mutilasi, tidak sebanding dengan ulama dan polisi yang ada.
“Ada temuan pers agak amburadul atau kacau balau. Karena di Indonesia ada kultur wartawan adalah profesi yang terbuka. Kalau di luar negeri, wartawan tertutup. Mereka harus kursus jurnalistik, sehingga mengetahui kode etik, etika dan tatacara sebagai insan media pers. Sekarang berbalik. Seperti ahli kesehatan di rumah sakit, bukan dari sarjana kedokteran. Begitu juga dengan jurnalistik,“ ungkapnya.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Bidang Multimedia itu menyampaikan bahwa ketika berita dimuat dan disosialisasikan ke publik, itu sudah menjadi tanggungjawab redaksi bukan penulis. Stack holder supaya tidak terjadi kesalahpahaman penyalahgunaan. Ketika wartawan menggebu-gebu buat suatu berita, dan kebenaran redaktur juga sepaham dengan si wartawan sehingga tidak disaring dengan baik. Sementara itu bertolak dari apa informasi yang didapat dilapangan. Sebab itulah, pesan dia, kawan-kawan dari kehumasan menjalin hubungan baik dengan wartawan (insan pers). Buru-buru dia tambahkan, supaya tidak ada kesalahan persepsi, tidak ada salahnya memberi informasi melalui blog dengan bahasa formal.
Lepas daripada itu, kebijakan pengelolaan informasi berbasis internet perlu diterapkan kalangan humas, guna meningkatkan kinerjanya secara profesional. Sementara Teknologi Informasi (IT) dan sejumlah hal lainnya yang bersifat teknis, hanyalah alat dalam pekerjaan yang berkaitan dengan penyebaran informasi. Sedangkan faktor kemanusiaan dan kecepatan mengendalikan gagasan untuk segera mempublikasikan adalah faktor utamanya. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar