Senin, Januari 19, 2009

ga punya mukena

Kisah Gakin di Jl A Wahab Syahrani RT 64 Batu Ampar

LEBARAN sebentar lagi. Umat muslim bergembira menyambut datangnya Hari Kemenangan. Namun tidak demikian halnya kaum dhuafa satu ini, yaitu pasangan Paimung dan Sining serta seorang anaknya Robayah.

Kaum dhuafa ini, sepertinya tidak terlalu memikirkan apa yang harus dilakukan saat lebaran tiba. Seperti menyiapkan hidangan kue-kue kering, minuman ringan, membersihkan rumah dan menyambut kedatangan tamu.

Namun yang pastinya, pasangan suami istri (pasutri) Paimung dan Sinin serta satu-satunya buah hati Robayah tetap melaksanakan salat Id di masjid terdekat. Tidak memiliki mukena bukan menjadi alasan untuk tidak melaksanakan salat, karena masih ada sarung yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi aurat. Karena momen itu hanya datang sekali dalam setahun, tentu saja sayang untuk dilewatkan.

“Abis salat, di sini aja (rumah, Red) gak kemana-mana. Gak ada uang,” ujar Robayah yang duduk di samping Sinin. Sementara Paimung sore itu belum pulang dari bekerja.

Yah, kemarin, media ini menyambangi kediaman Paimung bertempat Jalan A Wahab Syahrani RT 64 Batu Ampar (Batam). Keluarga yang telah 10 tahun menetap di Balikpapan itu hingga sekarang belum mengantongi kartu gakin. Padahal jika diperhatikan mereka termasuk dari kaum mustahik yang hidup dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki pekerjaan tetap dan hidup benar-benar pas-pasan.

Pasutri ini mengira-ngira usia mereka sudah kepala tujuh. Dan Robayah mengira-ngira usianya telah mencapai kepala tiga. Dalam keseharian, Paimung bekerja sebagai pemotong rumput. Tapi secara manual, tanpa menggunakan mesin, lantaran Paimung tidak sanggup untuk memikul mesin pemotong rumput. Sementara Sinin, ia tidak dapat melakukan apa-apa. Tubuhnya yang ceking, kering dan keriput itu membuktikan bahwa lansia dengan rambut memutih itu tidak mampu bekerja keras. Sehingga dalam kesehariannya, Robayah lah yang mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga.

Tidak mengantongi kartu gakin, dikatakan Robayah lantaran belum memiliki surat-surat pindah yang lengkap dari tempat asal mereka yaitu Sanjai Sulawesi Selatan. Sehingga sulit bagi mereka yang hidup dari meminjam tempat dari saudara untuk memperoleh haknya sebagai keluarga miskin (gakin).

Rumah yang ditempati itu dari depan tampak seperti rumah biasa. Namun tak selamanya bagus diluar bagus juga didalam. Hujan lebat yang mengguyur Balikpapan disertai angin kencang beberapa waktu lalu, telah memporak-porandakan tempat Mandi Cuci Kakus (MCK), sehingga rumah itu telah tidak memiliki MCK lagi. Dan bukan hanya itu. Bangunan yang berdiri diatas tanah liat dengan bagian belakang berbatasan langsung dengan sungai kecil, telah menjadi mereng sekira 30 derajat. Mungkin jika kembali hujan lebat dibarengi angin kencang, rumah sangat sederhana itu akan roboh seketika.

“Takut tambah longsor nanti,” celetuk Sinin dengan suara kecil, pelan dan halus.

Rasa khawatir yang luar biasa, membuat keluarga malang ini berencana pindah. Pindah dengan membangun gubuk kecil yang menempel di salah satu kediaman sanak famili. Kediaman sanak famili itu juga tidak jauh dari tempat tinggalnya, karena masih mencakup satu RT. Namun karena berbenturan dengan biaya, terpaksa niat itu diurungkan. Padahal mereka sangat berharap sekali saat lebaran, telah menempati rumah barunya. “Rencana mau tambal dari rumah saudara, tapi belum ada dana. Katanya itu Rp 500 ribu. Kalau baju lebaran dikasi-kasi orang aja,“ tutur wanita bertubuh kurus itu.(*)